AM_MR-03


Serial ARYA MANGGADA

Episode II: MAS RARA

JILID 3

kembali | lanjut

AMMR-03TETAPI Wirantana pun menjadi marah. Katanya, “Ini adalah pamanku. Kau kira ia akan dapat disejajarkan dengan para perampok itu?“

“Justru pamanmu otak dari peristiwa ini“ pemimpin prajurit itu pun menjadi semakin marah.

Wirantana menggeretakkan giginya. Katanya, “Pamanku yang mengupah mereka. Pamanku tidak sama dengan mereka”

“Tetapi akibat dari tingkah pamanmu maka tugasku telah terhambat. Orang-orangku terluka dan bahkan aku pun telah terluka“ berkata pemimpin prajurit itu.

“Kau kira kami hanya duduk saja bertopang dagu? Siapa yang telah menyelamatkan Mas Rara? Tanpa kami, kalian telah kehilangan Mas Rara. Dan kalian akan mendapat hukuman dari Raden Panji” geram Wirantana.

“Sudahlah” desis Manggada, “jangan timbulkan persoalan baru”

Pemimpin prajurit itu pun termangu-mangu sejenak. Tanpa anak-anak muda itu, maka agaknya persoalannya memang akan menjadi semakin rumit. Namun demikian ia masih juga berkata, “Apapun yang akan kau lakukan atas pamanmu. Aku tidak mau dihambat lebih lama lagi”

“Jika kau akan pergi dahulu, pergilah. Tetapi Mas Rara tidak akan mau beranjak dari tempat ini sebelum pamannya dikuburkan dengan baik” jawab Wirantana.

Pemimpin prajurit itu tidak dapat mengatasi lagi jika itu merupakan keputusan Mas Rara. Saat itu Mas Rara adalah segala-galanya. Karena itu, maka pemimpin prajaurit itu pun telah menampakkan kemArahannya kepada para tawanannya.

Dengan ketus pemimpin prajurit itu membentak-bentak, agar para tawanannya itu dengan cepat menguburkan kawan-kawannya yang terbunuh.

Dalam pada itu, Wirantana pun kemudian telah memutuskan untuk menguguburkan Ki Resa ditempat itu, tetapi terpisah dari para perampok. Memberinya pertanda yang jelas, sehingga pada suatu saat akan dapat dilakukan upacara pemindahan kuburnya.

Dibantu oleh sais kereta kuda itu, bersama Manggada dan Laksana, mereka telah menggali lubang kubur, dibawah sebatang pohon cangkring agak jauh dari jalan. Beberapa orang prajurit telah membantunya pula, agar segala sesuatunya dapat berlangsung lebih cepat.

Namun bagaimanapun juga, perjalanan mereka tentu akan menjadi semakin lambat karena mereka akan membawa tawanan yang hanya berjalan kaki, sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka.

Demikianlah Akhirnya mereka selesai dengan tugas terakhir mereka di bawah bukit kecil itu. Semua korban telah dlkuburkan. Ki Resa pun telah dikuburkan pula.

Sejenak kemudian, iring-iringan yang menjadi semakin besar itu mulal bergerak kembali. Beberapa orang prajurit yang lerluka dan tidak mampu berkuda sendiri, telah didampingi oleh temannya. Numun para tawanan terpaksa harus berjalan diantara orang-orang berkuda itu, dengan tangan terikat. Hanya mereka yang membantu kawan-kawannya yang terluka saja yang dibebaskan dari ikatan.

Perjalanan menuju rumah Raden Panji Prangpranata terpaksa jadi makin lambat, para tawanan yang terluka ada yang tidak mampu lagi berjalan Karena itu, kawan-kawannya harus membuat usungan dari bambu, yang mereka potong dari
pinggir-pinggir jalan atau di pategalan-pategalan.

Setiap kali, pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara itu membentak-bentak marah. Bahkan kadang-kadang prajurit-prajuritnya sendiri ikut dibentak-bentak.

Mas Rara duduk di kereta kudanya yang berjalan lambat. Namun bagi Mas Rara, perjalanan yang lebih lambat itu terasa lebih baik, karena tubuhnya tidak terguncang-guncang.

Wirantana berkuda tidak lebih dari dua langkah di sebelah kereta itu. Setiap kali Mas Rara tidak melihat kakaknya, ia memanggil-manggil. Manggada dan Laksana berkuda di belakang kereta itu.

Kedua anak muda itu telah memberikan ketenangan di hati Mas Rara. Meski kedua anak muda itu belum lama dikenalnya, namun Mas Rara rasa-rasanya telah menaruh kepercayaan yang sangat besar pada mereka.

Demikianlah, iring-iringan itu merambat seperti siput sakit. Pemimpin prajurit hampir kehilangan akal, dan berniat membunuh orang-orang yang terluka parah. Untunglah pada saat-saat terakhir penalarannya masih mampu menahan, sehingga di luar sadarnya pemimpin prajurit itu menekan dadanya dengan telapak tangan, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak yang hampir tak tertahankan.

Dengan hambatan yang sangat menyakitkan hati, justru bersumber dari orang yang dianggap akan sangat membantunya itu, pemimpin prajurit utusan Raden Panji memutuskan untuk bermalam di perjalanan. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan besar, pemimpin prajurit itu telah menemui Ki Bekel, dan menyatakan maksudnya untuk bermalam di padukuhan itu.

Ketika Ki Bekel mengetahui bahwa iring-iringan itu adalah utusan Raden Panji Prangpranata, yang menjemput bakal istri Raden Panji, Ki Bekel mempersilahkan mereka bermalam di banjar.

“Tetapi sebagian terpaksa bermalam di rumah-rumah sekitar banjar“ berkata Ki Bekel, “banjar itu terlalu sempit untuk bermalam sekian banyak orang”

“Tidak perlu Ki Bekel“ berkata pemimpin prajurit itu, “banjar itu cukup luas”

Ki Bekel sendiri berada di banjar ketika para prajurit mengatur diri untuk bermalam. Para tawanan ditempatkan di pendapa, diawasi beberapa orang prajurit bersenjata karena mereka terikat, sulit bagi mereka untuk melakukan gerakan apapun. Apalagi pemimpin prajurit setiap kali membentak-bentak mereka. Bahkan seorang diantara mereka, yang mencoba membantah, telah dipukul mulutnya hingga sebuah giginya patah.

Ki Bekel yang baik itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyediakan makan dan minum bagi iring-iringan itu. Ki Bekel juga mengerahkan orang-orang yang dianggap mampu memberikan pengobatan pada para prajurit dan para tawanan yang terluka.

Yang agak sulit bagi Ki Bekel, menyediakan makanan buat kuda-kuda para prajurit. Tetapi hal itu akhirnya teratasi juga.
Mas Rara sendiri ditempatkan di sebuah bilik yang ada di banjar. Yang ada di pintu bilik itu adalah kakaknya dan kedua anak muda yang telah menolongnya dari kuku-kuku tajam seekor harimau, serta melepaskannya dari tangan pamannya yang ternyala lebih garang dari seekor harimau tua.
Ketiga anak muda itu pun telah berbaring di atas sehelai tikar pandan yang dibentangkan hampir menyilang pintu bilik itu. Bahkan setiap kali Mas Rara memanggil nama kakaknya.

“Aku di sini” Jawab Wlrantana.

“Jangan pergi kakang” desis Mas Rara.

“Aku tldak akan pergi. Jika aku pergi, ke pakiwan misalnya, maka Manggada dan Laksana akan ada ada di sini, “ jawab Wirantana.

Pemimpin prajurit itu pun tidak mengganggu ketiga anak muda itu. Mereka mengerti bahwa ada ketergantungan dari Mas Rara kepada kakaknya dan dua orang anak muda itu. Mas Rara nampaknya lebih percaya kepada anak-anak muda itu dari pada kepada para prajurit.

Dua orang sais dan pembantunya telah berada di serambi itu pula. Tetapl mereka justru berada di ujung. Dua orang prajurit telah menemanl mereka dan kemudian beristirahat bersama-sama di atas tlkar yang panjang.

Para prajurit memang tampak letih, sebagaimana Manggada, Laksana dan Wirantana. Mas Rarapun merasa dirinya seperti di perjalanan menuju ke neraka. Bahkan kadang- kadang Mas Rara tidak tahu lagi, apakah ia masih seorang yang bebas dan memiliki dirinya sendiri atau tidak. Tetapi tubuhnya memang terasa sangat lelah.

Beberapa orang prajurit telah mendapat tugas untuk berjaga-jaga. Dua orang di regol banjar, dan empat orang mengawani para tawanan. Mereka akan melakukan tugas itu berganti-ganti. Sementara yang tidak sedang bertugas dapat beristirahat sepenuhnya.

Ketika orang-orang yang ditugaskan Ki Bekel untuk menyiapkan makan dan minum telah siap, maka Ki Bekel mempersilahkan mereka untuk makan dan minum.
“Seadanya, selagi masih hangat“ berkata Ki Bekel kepada pemimpin prajurit.

“Terima kasih Ki Bekel“ jawab pemimpin prajurit itu, “atas nama Raden Panji Prangpranata”

“Ah, bukan apa-apa“ desls Ki Bekel, “hanya sekadarnya”

Ternyata suguhan itu menjadi sangat berarti bagi para prajurit dan juga para tawanan. Mereka memang merasa sangat lapar. Tenaga mereka yang seakan-akan telah terkuras habis itu memerlukan dukungan baru agar tubuh mereka terasa tetap segar.

Tetapi beberapa orang diantara mereka, setelah perutnya menjadi kenyang, justru telah tertidur mendekur di sembarang tempat.

Pemimpin prajurit itu pun tidak mengganggu mereka asal bukan yang sedang bertugas. Pemimpin prajurit itu pun merasa betapa tubuhnya menjadi letih.

Wirantana sendiri hampir tidak dapat beristirahat. Setiap kali adiknya selalu memanggil-manggilnya dari dalam bilik. Namun Wirantana menyadarl, bahwa Mas Rara sedang dalam keadaan yang kurang menentu. Ketakutan, kecemasan dan berbagai macam perasaan berbaur di dalam hatinya.

Namun kemudian ternyata bahwa akhirnya Mas Rara pun sempat beristirahat barang sejenak di dalam biliknya. Tetapi makan yang di suguhkan kepadanya hanya dimakannya sedikit sekali.

Malam itu, tidak terjadi sesuatu di banjar yang dipergunakan oleh para prajurit utusan Raden Panji itu beristirahat. Para prajuritpun sempat beristirahat dengan baik. Semantara pagi-pagi benar, demikian mereka selesai berbenah diri, Ki Bekel telah berada di banjar itu pula dan mempersilahkan para prajurit untuk makan dan minum. Demikian pula para tawanan.

“Kami di padukuhan ini tahu, bahwa para prajurit akan berangkat pagi-pagi” berkata Ki Bekel.

Pemimpin prajurit itu hanya dapat mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada Ki Bekel, yang telah membantu dengan sungguh-sungguh kesulitan yang dialami oleh para prajurit yang mengemban tugas dari Raden Panji Prangpranata itu.

Demikianlah, ketika matahari mulai melontarkan sinarnya yang kekuning-kuningan, maka iring-iringan itu telah mulai bergerak lagi. Mas Rara telah berada di dalam keretanya pula. Namun seperti di hari sebelumnya, iring-iringan itu merambat sangat lamban.

Tetapi pemimpin prajurit itu tidak dapat mengatasinya. Ia tidak mampu berbuat lebih jauh dari yang dapat dilakukannya itu. la tidak dapat melepaskan orang-orang yang telah berusaha merampok iring-iringan itu, tetapi la juga tidak dapat memerintahkan untuk membunuh mereka semuanya.

Matahari pun kemudian memanjat langit semakin tinggi. Bahkan kemudian telah mencapai puncak langit. Namun iring-iringan itu masih belum sampai ketujuan.

Ketika panas matahari bagaikan membakar punggung, maka pemimpin prajurit itu pun telah memerintahkan iring-iringan itu untuk beristirahat. Ia melihat, terutama para prajurit yang terluka, telah menjadi sangat letih. Kuda-kuda mereka pun menjadi haus. Sementara itu, pemimpin prajurit itu juga memikirkan keadaan Mas Rara yang berada di dalam kereta. Meski ia hanya duduk, namun ia tentu merasa letih juga.

Namun setelah menempuh perjalanan yang berat dan lamban, akhirnya iring-iringan itu telah mendekati tujuan. Sebuah padukuhan yang besar di luar dindlng kota Pajang, justru agak di Utara.

Itu adalah padukuhan khusus. Disekelilingnya terdapat dinding yang lebih tinggi dari rata-rata dinding yang terdapat pada padukuhan-padukuhan lain. Di samping beberapa pintu gerbang yang lebih kecil, terdapat sebuah pintu gerbang induk yang besar, dengan pintu yang kokoh. Padukuhan itu adalah padukuhan Banyuanyar.

Sebelum iring-iringan itu memasuki pintu gerbang padukuhan, pemimpin prajurit memberitahukan pada Wirantana bahwa yang ada dihadapan mereka adalah padukuhan yang akan mereka masuki.

“Di padukuhan itu Raden Panji Prangpranata tinggal“ berkata pimpinan prajurit itu.

Wirantana mengangguk-angguk. Ia merasa sedikit lega, bahwa perjalanan yang panjang, melelahkan dan lamban itu, akan segera berakhir. Menurut pendapat Wirantana, sebelum mereka sampai tujuan, bahaya masih mengancam adik perempuannya.

Makin dekat mereka dengan pintu gerbang padukuhan Banyuanyar, ketegangan menjadi semakin menurun. Tetapi jantung serasa berdebar pula oleh sebab yang lain. Wirantana tidak lagi mencemaskan adik perempuannya, tetapi ia mulai membayangkan seseorang yang bernama Raden Panji Prangpranata.

Ketika ia berada di sebelah Manggada, di sisi kereta Mas Rara, tiba-tiba saja ia berdesis, “Rasa-rasanya aku ingin segera bertemu dengan Raden Panji”

“Apakah kau pernah bertemu sebelumnya?“ bertanya Manggada.

Wirantana menggeleng. Katanya, “Aku belum pernah bertemu dengan Raden Panji”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya pula, “Di mana Raden Panji pernah bertemu dengan adikmu?“

“Aku tidak begitu jelas. Tetapi menurut keterangan ayah dan ibu, Raden Panji ketika sedang dalam perjalanan keliling untuk melihat-lihat daerah yang menjadi tanggung-jawabnya diluar kota Pajang, telah singgah di banjar padukuhan Nguter. Pada saat itu, persiapan dilakukan dengan sangat hati-hati. Beberapa orang gadis ditunjuk untuk menghidangkan hidangan bagi Raden Panji Prangpranata. Termasuk Mas Rara“ jawab Wirantana.

“Kau berada dimana pada waktu itu?“ bertanya Manggada.

“Aku masih berada di sebuah perguruan“ jawab Wirantana.

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ujung iring-iringan itu sudah berada di mulut pintu gerbang.

Seorang prajurit menyongsong keluar pintu gerbang. Ketika ia berbicara dengan pemimpin prajurit yang datang itu, tampak terjadi ketegangan.

“Kau di sini“ berkata Wirantana kepada Manggada dan Laksana. Sebelum Manggada dan Laksana menyahut, Wirantana telah mendekati pemimpin prajurit itu.

Baru kemudian ia tahu, bahwa ternyata Raden Panji Prangpranata sangat cemas karena kedatangan Mas Rara terlambat.

“Raden Panji telah menyiapkan sekelompok prajurit untuk menyusul kalian“ berkata prajurit itu.

“Hal ini adalah di luar kemampuan kami untuk mengatasi“ jawab pemimpin prajurit yang membawa Mas Rara itu, “sebagaimana kau lihat, aku membawa kawan-kawan kita yang terluka. Tetapi juga tawanan. Orang-orang yang telah mencegat perjalanan kami”

Prajurit yang menyongsong itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Mari, Mas Rara akan ditempatkan di rumah Raden Panji yang sebelah Timur, sebelum Raden Panji sendiri akan menerimanya”

Pemimpin prajurit itu mengangguk sambil menjawab, “Baik. Tapi bagaimana dengan tawanan yang kami bawa?“

Prajurit yang menerima kedatangan iring-iringan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Kami akan membawa mereka”

la kemudian memerintahkan beberapa prajurit yang ada di regol untuk mengambil-alih para tawanan. Meski demikian, karena hal itu diluar perhltungan, ia masih minta pertimbangan beberapa orang prajurit lain, sehingga akhirnya ia berkata, “Biarlah mereka membawa para tawanan itu”

Pemimpin prajurit yang baru datang menyerahkan para tawanan pada pemimpin kelompok yang akan membawa para tawanan itu ke barak.

Beberapa saat kemudian, para tawanan diterima oleh sekelompok prajurit yang kemudian membawanya pergi. Yang tinggal kemudian adalah para prajurit yang akan membawa Mas Rara ke tempat yang telah disediakan.

Ketika iring-iringan itu kemudian memasuki regol padukuhan. Wirantana, Manggada dan Laksana segera mengetahui bahwa padukuhan itu sudah dibenahi, dan dalam keadaan siap menerima calon istri Raden Panji Prangpranata.

Wirantana mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, ia merasa berbangga bahwa adiknya mendapat kehormatan besar. selain karena ia akan jadi istri seorang yang berpengaruh dan berkuasa, ternyata ia juga dianggap seorang yang harus dihormati.

Beberapa saat kemudian, mereka telah menyusuri jalan induk padukuhan Banyuanyar. Penduduk yang tahu kedatangan Mas Rara, telah keluar dari regol-regol halaman rumah mereka untuk melihat wajah gadis yang akan jadi istri pemimpin mereka.

Beberapa orang memang sempat melihat wajah Mas Rara, meski sekilas. Namun wajah itu selalu menunduk dalam-dalam. Sedangkan yang lain, sama sekali tak melihatnya.
Di tengah-tengah padukuhan itu, iring-iringan memasuki sebuah halaman rumah yang tidak terlalu luas, tapi sangat bagus. Pendapanya yang sedang-sedang saja, memberikan kesan ramping. Demikian pula gandok kiri dan kanan, juga bukan gandok besar dan panjang. Tapi cukup memberikan kelengkapan bentuk sebuah rumah yang utuh.

Ketika kereta kuda Mas Rara berhenti di halaman, pemimpin prajurit kemudian mempersilahkan Wirantana membantu Mas Rara turun dari keretanya, dan membawanya ke pendapa.

Beberapa orang perempuan telah siap menyambutnya. Demikian Mas Rara mendekati pendapa, perempuan-perempuan itu bergegas menyongsong dan membimbingnya.
Mas Rara jadi bingung. Tapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti saja kemana perempuan-perempuan itu membawanya.

Sejenak kemudian, Mas Rara telah duduk di pendapa. Seorang laki-laki setengah baya kemudian berbicara pada pemimpin prajurit yang membawa Mas Rara itu.

“Biarlah kakaknya ikut naik ke pendapa“ berkata orang setengah baya itu.

“Kedua anak muda itu adalah sahabatnya. Keduanya adalah yang telah menoiong Mas Rara dari keganasan seekor harimau. Bukankah Raden Panji memerintahkan agar kedua-nya kami bawa serta?“ berkata pemimpin prajurit itu.

“Ya. Tapi biarlah keduanya berada di gandok saja“ berkata orang setengah baya itu.

“Kenapa?“ bertanya pemimpin prajurit itu.

“Mereka bukan keluarga Mas Rara. Kedudukan mereka lain dari kakak Mas Rara“ berkata orang setengah baya itu. Lalu katanya perlahan-lahan, “Raden Panji tidak begitu senang terhadap kedua anak muda itu?“

“Jika demikian, kenapa Raden Panji memerintahkan dengan sungguh-sungguh agar keduanya harus kami bawa bersama Mas Rara?” bertanya kepala prajurit itu pula.

“Bukankah sepantasnya Raden Panji mengucapkan terima kasih kepada mereka?” jawab orang setengah baya itu.
Kepala prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian memberanikan diri bertanya, “Kenapa Raden Panji tidak senang pada mereka? Bukankah Raden Panji belum pernah bertemu dengan kedua anak muda itu?“

Orang setengah baya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku tidak tahu”

Pemimpin prajurit itu tidak bertanya lagi. Katanya, “Kau sajalah yang mengatur. Kau yang membawa keduanya ke gandok, sementara kakak Mas Rara ke pendapa”

Orang setengah baya itu menarik nafas panjang. Tetapi sambil mengangguk kecil, ia berkata, “Baiklah. Aku akan mempersilahkannya”

Pemimpin prajurit itu kemudian memerintahkan bawahannya menarik diri dari halaman rumah itu, dan kembali ke barak masing-masing. Mereka yang terluka, memerlukan perawatan yang sebaik-baiknya. Namun ternyata seorang diantara yang terluka tidak dapat diselamatkan jiwanya, meski ia sudah mendapat perawatan sementara.

Tetapi pemimpin prajurit memerintahkan pada para prajurit untuk sementara jangan sampai terdengar keluarga Mas Rara. Mereka tentu akan merasa sedih mendengar bahwa diantara mereka yang menjemputnya, ada korban. Apalagi ia sadar bahwa penyebab bencana itu adalah pamannya sendiri.
Orang setengah baya itu kemudian mempersilahkan Wirantana untuk naik ke pendapa. Tetapi Manggada dan Laksana dipersilahkan naik ke serambi gandok.

Wirantana mulai merasakan sesuatu yang kurang pada tempatnya. Karena itu ia berkata, “Biarlah kedua orang sahabatku itu duduk bersamaku di pendapa”

Tetapi orang setengah baya itu menggeleng. Katanya, “Maaf Ki Sanak. Raden Panji memerintahkan bahwa hanya keluarga Mas Rara saja yang dipersilahkan naik ke pendapa. Bukan maksudnya untuk membedakan tamu, tapi sekedar untuk mengetahui mana keluarga Mas Rara, mana yang bukan keluarganya”

“Tetapi keduanya sudah seperti keluarga sendiri. Tanpa keduanya, Mas Rara tidak akan pernah duduk di pendapa rumah ini“ berkata Wirantana. Lalu katanya pula, “Dua kali keduanya menyelamatkan Mas Rara. Karena itu, mereka berhak disebut keluarga kami”

“Maaf Ki Sanak. Aku hanya, menerima perintah dari Raden Panji“ jawab orang itu.

“Jika demikian, biarlah aku disini saja“ berkata Wirantana.

“Ki Sanak dimohon untuk naik“ berkata orang itu”

Tetapi Wirantana tetap tidak mau. Bahkan Manggada dan Laksana telah minta kepadanya untuk naik.

“Biarlah kami menunggu di serambi“ berkata Manggada.

“Tidak“ jawab Wirantana.

Sementara itu, seorang perempuan yang berada di pendapa telah mendatangi orang yang mempersilahkan Wirantana itu sambil berkata, “Mas Rara memanggil kakaknya”

Orang setengah baya itu berkata, “Nah, bukankah Ki Sanak dipersilahkan naik”

“Hanya dengan kedua orang kawanku ini aku akan naik“ jawab Wirantana.

“Tetapi Mas Rara memanggil“ desis orang itu.

Tetapi Wirantana tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan katanya, “Biar Mas Rara datang kemari”

Orang yang sudah separo baya itu mengerutkan keningnya. Tetapi akhirnya ia tldak dapat berbuat lain. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku sudah melakukan sesuai dengan perintah Raden Panji. Padahal di sini perintah Raden Panji harus dilakukan dengan baik. Jika Raden Panji menjadi marah, maka aku tidak bertanggung jawab”

“Begitu mudah Raden Panji marah?“ bertanya Wirantana.

“Setiap perintahnya yang tidak dilakukan dengan baik, dapat membuatnya marah. Itu wajar sekali. Bukan hanya Raden Panji. Setiap orang yang dikecewakan orang lain, akan marah. Hanya ungkapan kemarahannya yang berbeda-beda. Karena Raden Panji memiliki segala-galanya di sini, ia dapat menjadi marah dan melakukan apa saja yang dikehendaki atas orang-orang yang tidak melakukan perintahnya” berkata orang itu.

“Menarik sekali“ berkata Wirantana.

“Pada saatnya kau akan berkata lain“ jawab orang itu.

Wirantana termangu-mangu.

Sementara Manggada dan Laksana telah mempersilahkan Wirantana naik ke pendapa. Sendiri.

“Kami akan menunggu di serambi“ desis Manggada beberapa kali.

Tetapi Wirantana berkeras untuk mengajak mereka naik ke pendapa.

Akhirnya ketiga orang itu naik. Mereka duduk agak jauh dari Mas Rara yang didampingi beberapa orang perempuan.

Sementara itu, orang yang separo baya duduk pula diantara mereka. Di pendapa itu pula, tetapi agak menepi, duduk pula dua orang yang siap melaksanakan perintah orang separo baya itu.

Beberapa saat kemudian, para pelayan telah menghidangkan minuman untuk Mas Rara, kakaknya serta orang-orang yang menyertainya, termasuk sais dan pembantunya yang duduk di serambi gandok, ditemani seorang pembantu rumah itu.

Beberapa saat mereka harus menunggu. Mas Rara yang sebenarnya haus, rasa-rasanya tidak dapat meneguk minuman yang dihidangkan Wedang sere yang manis dengan gula aren itu rasa-rasanya sulit untuk melintas di tenggorokannya.

Berbeda dengan Mas Rara, maka Wirantana, Manggada dan Laksana telah meneguk minumannya sehingga mangkuknya kering.

Untuk beberapa saat Mas Rara duduk diantara beberapa orang perempuan. Seorang perempuan yang tertua diantara mereka berusaha memecahkan kebekuan dengan sikapnya yang ramah. Beberapa pertanyaan diajukan kepada Mas Rara. Tetapi Mas Rara nampaknya memang menjadi terlalu tegang, sehingga jawaban-jawabannya kadang justru kurang dapat didengar oleh perempuan itu.

Meskipun demikian, perempuan-perempuan itu dapat mengerti sikap itu. Seorang gadis yang berada di rumah bakal suaminya, memang dapat menjadi sangat tegang. Apalagi yang dilakukan Mas Rara bukanlah kebiasaan yang berlaku diantara para gadis. Biasanya calon pengantin laki-lakinya yang datang ke rumah calon pengantin perempuan. Bahkan ada yang datang sejak selapan hari sebelum hari perkawinan dilaksanakan.

Sementara itu, orang yang telah mempersilahkan Wirantana naik ke pendapa itu satu-satu yang menanyakan keselamatan perjalanan iring-iringan itu. Tetapi suasananya ternyata memang kurang menguntungkan. Agaknya orang itu menjadi kecewa atas sikap Wirantana, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya tidak lebih sekadar melakukan kewajiban sebagai orang yang ditugaskan untuk menerima keluarga Mas Rara.

Namun beberapa saat kemudian, telah datang seorang yang mendapat perintah dari Raden Panji untuk menemui orang yang sudah separo baya itu. Dengan hormat orang itu menyampaikan pesan Raden Panji kepada orang itu, “Para tamu dipersilahkan untuk beristirahat. Besok pagi-pagi Raden Panji akan datang menemui Mas Rara dan para tamu dl sini”

“Ya, besok” jawab orang yang baru datang itu. Orang separo baya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tidak ada yang dapat merubah perintah Raden Panji.

“Baiklah“ berkata orang separo baya itu, “aku akan menyampaikannya pada para tamu”

Ketika hal itu disampaikan pada Wirantana dan Mas Rara, maka tampak kekecewaan memancar di wajah Wirantana. Sementara, Mas Rara justru berperasaan lain. Mas Rara seakan-akan mendapat kesempatan menarik nafas, dan rasa-rasanya seperti seorang pesakitan yang ditunda vonisnya.

Dengan demikian, setelah meneguk minuman dan makan sepotong makanan, orang separo baya itu mempersilahkan para tamu beristirahat. Mas Rara mendapat tempat di ruang dalam, sementara Wirantana dipersilahkan tidur di gandok kanan. Tapi orang itu tidak mempersilahkan Manggada dan Laksana untuk istirahat di gandok sebelah kiri, karena Wirantana tentu akan mencegahnya. Dengan demikian, Manggada dan Laksana akan berada di gandok kanan bersama Wirantana, meski hanya ada satu amben dalam bilik itu. Tapi cukup besar.

Sebenarnya Mas Rara merasa keberatan ditempatkan di ruang dalam. Ia merasa telah dipisahkan dengan kakaknya. Tetapi perempuan-perempuan yang melayaninya telah memberitahukan kepadanya bahwa kakaknya berada di gandok.

“Jika Mas Rara membutuhkannya, kami akan memanggilnya“ berkata yang tertua diantara perempuan-perempuan itu.

Sementara Wirantana sempat bertanya pada orang yang menerima adiknya itu, “Kenapa Raden Panji baru dapat menemui Mas Rara besok pagi?“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar, ia berkata, “Raden Panji akhir-akhir ini memang menjadi sangat sibuk”

“Tetapi bukankah kedatangan Mas Rara sudah direncanakan sebelumnya, sehingga Raden Panji dapat menyiapkan waktunya untuk itu?“ bertanya Wirantana.

“Ya. Raden Panji memang telah menyiapkan waktunya. Tetapi karena sesuatu hal di luar kemampuan kalian, serta para prajurit yang menjemput Mas Rara, kalian datang terlambat. Memang bukan salah kalian. Tetapi tampaknya Raden Panji telah mempunyai rencana lain dalam pengaturan tugasnya” berkata orang separo baya itu.

“Apakah begitu banyak tugas Raden Panji, sehingga ia sama sekali tidak sempat untuk datang menemui Mas Rara meski hanya sekejap, dan kemudian ditinggalkannya lagi” bertanya Wirantana.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, katanya, “Akhir-akhir ini Raden Panji jarang berada di rumah. Setiap kali Raden Panji harus pergi, mau tidak mau. Jika tidak dipanggil menghadap ke Pajang, datang pemberitahuan bahwa telah terjadi keributan di suatu tempat. Tampaknya, saat-saat terakhir ini, kerusuhan menjadi semakin meningkat”

“Kerusuhan?“ bertanya Wirantana.

“Ya. Beberapa Kademangan mengalami kesulitan dengan sawah mereka. Panen sering gagal, hama dan penyakit membunuh ratusam ternak” berkata orangtua itu, “sehingga karena itu, tugas Raden Panji menjadi semakin banyak, kaduag-kadang Raden Panji Justru tidak sempat mengurusi dirinya sendiri karena tingkah laku orang-orang yang kelaparan itu. Mereka harus mendapat penanganan khusus. Raden Panji menganggap bahwu orang-orang yang kelaparan itu tidak dapat disamakan dengan perampok, penyamun dan penjahat-penjahat lain. Mereka melakukan perbuatan negatif sekadar untuk mempertahankan diri agar tidak mati kelaparan bersama keluarga mereka”

Wirantana mengangguk-angguk. Keterangan itu telah membuat gambarannya tentang Raden Panji jadi kabur. Semula ia menyangka bahwa Raden Panji adalah orang yang sombong, keras dan mementingkan diri sendiri. Ternyata bahwa ia telah memerintahkan bakal istrinya untuk datang kepadanya. Kemudian sikapnya yang kurang ramah, dan seakan-akan justru mengabaikan kedatangan Mas Rara. Namun dari cerita orang separo baya itu, Raden Panji seakan-akan merupakan seorang pahlawan yang bijaksana, yang tahu menempatkan dirinya dalam gejolak waktu dan keadaan. Sehingga justru karena itu, Raden Panji sama sekali bukan orang yang mementingkan diri sendiri.

Tetapi Wirantana tidak dapat bertanya kepada orang itu tentang kepastian sosok Raden Panji. Semua orang rasa-rasanya telah membuat tirai batas antara pengenalannya dengan sosok itu sendiri. Ayahnya, ibunya, dan bahkan adiknya juga tidak pernah mengatakan sesuatu tentang Raden Panji itu.
Tetapi Mas Rara memang harus menunggu kedatangan bakal suaminya besok. Mungkin hari itu Raden Panji telah mendapat berita tentang satu peristiwa yang harus segera ditanganinya.
Manggada dan Laksana yang sempat berbicara berdua saja ketika Wirantana pergi ke pakiwan, telah menyatakan keheranannya pula atas sikap Raden Panji.

“Betapapun sibuknya, Raden Panji tentu dapat menyempatkan diri untuk melihat calon istrinya. Apalagi ia telah mendapat laporan bahwa iring-iringan prajurit yang menjemput calon istrinya telah mendapat gangguan. Sasarannya justru calon istrinya itu sendiri” berkata Laksana.

“Ya. Tetapi barangkali Raden Panji justru kecewa setelah mendengar sikap paman Mas Rara itu sendiri“ jawab Manggada, “atau karena Raden Panji menganggap bahwa tidak akan terjadi apa-apa lagi, karena orang yang langsung merencanakan perbuatan itu telah terbunuh”

“Tetapi bagaimanapun juga, sikapnya kurang dapat dimengerti“ desis Laksana, “bahkan aku condong menganggapnya terlalu sombong karena ia seorang pemimpin yang berpangkat tinggi, sedang keluarga Mas Rara adalah keluarga orang kecil”

Manggada mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia berpendapat bahwa Raden Panji Prangpranata memang menganggap bahwa kedudukannya jauh lebih tinggi dari kedudukan bakal isterinya, sehingga ia dapat berbuat apa saja menurut keinginannya. Ia dapat memerintahkan untuk memanggil bakal isterinya. Kemudian membiarkannya menunggu sampai ia sempat datang menemuinya.

Ketika Wirantana kemudian selesai, maka bergantianlah Manggada dan Laksana pergi ke pakiwan.

Tetapi ketika ketiga orang anak muda itu kemudian duduk-duduk di serambi, seorang diantara perempuan-perempuan yang menemani Mas Rara, datang. Dengan nada rendah ia bertanya, “Siapakah diantara anak-anak muda yang bernama Wirantana?“

“Aku“ jawab Wirantana.

“Maaf anakmas Mas Rara memanggil anakmas” berkata perempuan itu.

Wirantana mengungguk kecil sambil berkata, “Baiklah. Aku akan datang segera“

“Marilah anakmas, aku akan mengantar anakmas menemui Mas Rara di ruang dalam“ berkata perempuan itu.
Wirantana berpaling kepada Manggada dan Laksana. Sambil mengangguk kecil Manggada berkata, “Lihatlah. Mungkin adikmu sangat memerlukanmu”

Wirantana kemudian mengikuti perempuan itu pergi ke ruang dalam.

“Silahkan anakmas“ perempuan itu mempersilahkan Wirantana masuk ke bilik adiknya.

Di dalam bilik itu ternyata adiknya ditunggui oleh dua orang perempuan. Namun ketika Wirantana masuk ke dalam bilik itu, kedua orang perempuan itu keluar.

“Ada yang perlu aku tolong?“ bertanya Wirantana setelah menutup pintu bilik itu.

Mas Rara tidak menjawab. Kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Bukankah kau panggil aku?“ bertanya Wirantana pula.
Mas Rara masih tetap berdiam diri. Namun dari kedua matanya mengalir air mata.

“Apa yang terjadi?“ bertanya Wirantana gelisah.

Tetapi Mas Rara tidak menjawab.

“Mas Rara“ desak Wirantana, “kenapa? Ada apa?“

Mas Rara masih tetap saja berdiam diri.

“Apakah kau kecewa karena Raden Panji baru akan menemuimu besok?“ bertanya Wirantana.

Mas Rara menggeleng kecil, hampir tidak tertangkap kesannya oleh Wirantana.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?“ desak Wirantana yang menjadi bingung oleh sikap adiknya.

Tetapi Mas Rara tetap berdiam diri.

Wirantana jadi tambah bingung. Tetapi akhirnya ia duduk saja di bibir pembaringan tanpa mengucapkan kata-kata apapun.

Keduanya saling berdiam diri untuk beberapa saat. Tetapi Wirantana menjadi pening karena suasana itu. Akhirnya ia berkata, “Barangkali kau belum dapat mengatakannya sekarang Mas Rara. Tetapi aku tidak pantas berada di sini. Di luar beberapa orang perempuan menunggu. Karena itu, biarlah aku keluar saja dulu. Nanti jika kau merasa bahwa waktunya sudah datang untuk mengatakan sesuatu, panggil aku lagi”

Mas Rara mengangguk. Namun justru karena itu Wirantana menjadi semakin tidak mengerti dengan perasaan adiknya yang sebenarnya. Wirantana jadi semakin ragu. Apakah adiknya merasa berbahagia atau tidak.

“Baiklah“ berkata Wirantana, “aku akan menunggu di gandok”

Mas Rara diam membeku. Tetapi ketika Wirantana bangkit berdiri, Mas Rara tiba-tiba terisak.

“Kenapa kau sebenarnya?“ Wirantana menjadi makin bingung. Apalagi ketika ia kemudian mendengar suara adiknya diantara isak tangisnya, “Aku ingin pulang”

Wirantana duduk kembali di bibir pembaringan adiknya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa? Kenapa?“

Tetapi Mas Rara telah terdiam sama sekali. Tidak ada kata-kata yang terloncat dari sela-sela bibirnya. Gadis itu menunduk saja, sementara air matanya menitik satu-satu.

Wirantana benar-benar menjadi bingung. Ia mencoba untuk meraba-raba, apakah yang telah terjadi dengan adiknya. Mungkin karena tingkah laku pamannya yang membuatnya bukan saja sakit hati, tetapi juga sangat malu terhadap Raden Panji dan orang-orang di sekitarnya.

Tetapi Mas Rara tetap tidak mau mengatakan sesuatu. Sehingga akhirnya Wirantana berkata lagi, “Baiklah. Aku menunggu di gandok”

Sekali lagi Mas Rara mengangguk.

Ketika Wirantana keluar, beberapa orang perempuan yang ada di depan bilik itu bangkit berdiri dan mengangguk hormat, sehingga Wirantana menjudi segan karenanya.

Manggada dan Laksana yang berada di gandok ternyata juga bertanya-tanya, untuk apa Mas Rara memanggil Wirantana.
Sementara itu Wirantana telah berusaha untuk menenangkan hatinya sendiri, “Mas Rara belum pernah berpisah dengan ayah dan ibu“ berkata Wirantana di dalam hatinya, “Karena itu, agaknya ia selalu dibayangi kecemasan tentang dirinya sendiri. Apalagi karena tingkah paman yang sama sekali tidak terduga”
Ketika kegelisahan Wirantana disampaikan pada Manggada dan Laksana, kedua anak muda itu ikut-ikutan jadi gelisah. Meskipun Wirantana berusaha menenangkan perasaannya, tetapi gejolak perasaan adiknya yang tertutup di bilik, makin membuatnya gelisah.

“Mas Rara tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya“ berkata Wirantana di dalam hatinya. Tetapi ia sadar bahwa hal itu terjadi ketika mereka masih remaja. Ketika ia pergi berguru dan kemudian kembali, terjadi banyak perubahan. Adiknya telah tumbuh menjadi gadls dewasa, sebagaimana dirinya juga telah menjadi dewasa.

Manggada dan Laksana setiap kali hanya mengangguk-angguk saja, la tidak mau menambah kegelisahan hati anak muda itu. Keduanya berusaha dapat membantu meringankan beban perasaan Wirantana, meski tidak bisa memberikan jalan keluarnya.

Ketika kemudian malam turun, setelah makan malam yang dihidangkan ke biliknya, Wirantana bersama Manggada dan Laksana tetap berada di biliknya. Tidak ada minat dari ketiga anak muda itu melihat-lihat keadaan. Apalagi Manggada dan Laksana merasa diri mereka seakan-akan berada di tempat yang sangat asing.

Ketiga anak muda itu mendengar beberapa orang berbicara di pendapa. Tetapi mereka merasa ragu-ragu untuk keluar dari dalam bilik itu.

Tapi ketika mereka kemudian mendengar percakapan di serambi gandok, Wirantana membuka pintu bilik gandok itu.
Dua orang duduk di serambi. Seorang diantara mereka berdesis, “Kami sangka kalian sudah tidur. Mungkin lelah karena perjalanan yang panjang. Tetapi mungkin juga karena merasa tidak ada lagi yang harus kalian kerjakan”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian melangkah keluar diikuti Manggada dan Laksana.

“Apakah Ki Sanak juga termasuk prajurit Pajang yang berada di bawah pimpinan Raden Panji?“ bertanya Wirantana.

Kedua orang itu memandang Wirantana dengan tajamnya. Seorang diantara mereka menjawab, “Kami memang pembantu-pembantu terdekat Raden Panji. Bukankah kau kakak Mas Rara yang akan diperisteri Raden Panji?“

“Ya” jawab Wirantana.

“Sedangkan kedua orang anak muda itu disebut-sebut telah menyelamatkan Mas Rara dari terkaman harimau yang tersesat itu?“ bertanya orang itu pula.

“Ya“ jawab Wirantana pula.

“Marilah. Duduklah. Masih belum terlalu malam untuk berbincang-bincang“ berkata orang itu.

Wirantana, Manggada dan Laksana pun telah duduk pula bersama kedua orang itu. Keduanya berganti-ganti bertanya tentang keluarga Wirantana. Tentang perjalanan yang telah mereka tempuh dan tentang hambatan-hambatan yang terjadi.

“Kenapa pamanmu berlaku kasar terhadap adik perempuanmu itu?“ bertanya orang itu tiba-tiba.

Pertanyaan yang sangat tidak disukai oleh Wirantana. Namun iapun telah menjawab, “Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu kenapa paman berbuat seperti itu. Aku kira paman pun tidak tahu kenapa ia berlaku seperti itu”

Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Namun seorang diantara keduanya telah bertanya pula, “Pamanmu telah membunuh beberapa orang. Bahkan diantaranya prajurit Pajang. Meskipun bukan karena tangannya sendiri, tetapi ia adalah penyebab dari kemiatian itu”

“Ya“ jawab Wirantana. Ia menjadi semakin tidak senang dengan pertanyaan-pertanyaan kedua orang itu. Namun ia pun tetap menjawab pula, “Tetapi paman juga telah terbunuh”

Kedua orang itu tersenyum. Seorang diantaranya justru tertawa sambil berkata, “Tetapi kematiannya adalah karena salahnya sendiri. Berbeda dengan prajurit itu”

“Kenapa dengan prajurit itu?“ bertanya Wirantana.

“Ia mati karena melaksanakan tugas. Ia mati sebagai pahlawan“ jawab orang itu.

“Apakah itu bukan salahnya sendiri?“ justru Wirantana lah yang bertanya.

“Kenapa salahnya sendiri?“ orang itu ganti bertanya.

“Jika ia menyesali kematiannya karena mengemban tugas, sebaiknya ia tidak menjadi prajurit saja. Bukankah ketika ia menyatakan diri menjadi prajurit, akibat seperti itu sudah diperhitungkan. Justru kematian yang paling berarti dari seorang prajurit adalah mati di peperangan selagi menjalani pengabdian”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka berkata, “Jadi itukah pandanganmu tentang seorang prajurit? Dia baru berarti jika mati di medan perang? Atau katakanlah, tiap prajurit yang masuk dalam arena pertempuran, untuk melaksanakan pengabdian, sebaiknya mati. Dengan demikian, ia baru bisa berarti?“

“Tidak“ Jawab Wirantana, “aku tidak mengatakan demikian. Aku hanya mengatakan bahwa kematian yang paling berarti bagi seorang prajurit adalah mati di medan perang, selagi menjalankan pengabdian. Tentu saja dalam arti luas”

Orang itu tertawa. Katanya, “Pandai juga kau bermain dengan kata-kata. Tetapi baiklah. Aku setuju dengan pendapatmu”

“Terima kasih“ jawab Wirantana. Ia berharap bahwa tidak ada pertanyaan lagi tentang pamannya yang telah terbunuh itu. Tapi Wirantana salah duga. Orang itu masih bertanya lagi,

“Apakah sebelumnya tidak ada tanda-tanda tentang sikap pamanmu itu pada adikmu?“

“Tidak“ jawab Wirantana singkat.

Kedua orang itu mengerti bahwa Wirantana tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka tentang pamannya. Tapi seorang diantara mereka justru bertanya, “Apakah pamanmu belum beristeri?“

Jantung Wirantana terasa berdenyut makin cepat. Tapi ia masih coba menjawab, “Belum”

“Berapa umur pamanmu?“ bertanya yang lain. Seperti mimpi, Wirantana menjawab, “Tigapuluh”

“Masih begitu muda?“ bertanya orang itu pula.

“Ya“ jawab Wirantana.

Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kau tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan tentang pamanmu?”

“Tepat“ jawab Wirantana.

“Kau tersinggung? Seharusnya kau tidak usah tersinggung. Peristiwa itu menunjukkan keadaan keluargamu yang rapuh. Jika tidak, peristiwa semacam itu tidak akan terjadi. Sebenarnya Raden Panji jadi sangat kecewa. Siapa tahu sebelum kejadian itu memang sudah ada hubungan antara pamanmu dengan Mas Rara“ berkata orang itu.

“Jika demikian, apakah pamanku begitu bodoh sehingga harus menunggu sampai Mas Rara dijemput? Bukankah sebelumnya mereka dapat dengan mudah melarikan diri?“ justru Wirantana lah yang kemudian bertanya.

“Kenapa tidak mereka lakukan? Tapi jika hal itu mereka lakukan, Mas Rara tentu tidak akan menerima mas kawin dari Raden Panji“ jawab orang itu.

Wajah Wirantana jadi panas. Manggada dan Laksana masih berdiam diri. Tapi jantung mereka berdetak makin cepat.
Dengan suara bergetar, Wirantana berkata, “Jadi kau nilai adikku tidak lebih dari mas kawinnya?“

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang diantara mereka menjawab, “Ya. Mas kawin itu bagi keluargamu merupakan kurnia yang tidak ternilai. Jauh lebih bernilai dari adikmu”

“Siapa yang menilai seperti itu, kau atau Raden Panji?“ tiba-tiba saja Manggada yang tidak tahan lagi bertanya pula.
Lagi, kedua orang itu termangu-mangu. Wirantana yang tanggap justru mendesak, “Aku, sebagai kakak Mas Rara, merasa perlu untuk mendapat penjelasan dari Raden Panji”

“Kau berani rnenanyakannya?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Kenapa tidak? Kami orang-orang padesan, adalah orang-orang yang terbuka. Lebih baik aku bertanya pada Raden Panji dengan akibat apapun, daripada kegelisahan ini kubawa pulang dan menyampaikannya pada ayah dan ibu. Mereka tentu akan jadi gelisah. Bahkan jika Raden Panji memang kecewa, aku akan membawa adikku kembali. Mas kawin itu masih utuh disimpan ayah di tempat yang paling tersembunyi, setelah hampir terjadi perampokan“ jawab Wirantana.

“Kau tidak perlu bertanya pada Raden Panji“ berkata orang itu dengan nada menurun.

“Aku akan bertanya. Raden Panji tentu mengerti bahwa orang-orang padesan seperti kami tidak banyak mengenal unggah-ungguh. Tapi jika hanya bertanya tentang hal itu kami harus digantung, akan kami jalani” jawab Wirantana.

“ Kau benar-benar akan digantung jika berani menanyakannya“ geram orang itu.

“Apa boleh buat“ jawab Wirantana.

“Mas Rara pun akan digantung pula“ berkata orang yang lain.

“Jika Raden Panji memang menganggap Mas Rara curang, dalam hubungannya dengan paman, bertanya atau tidak bertanya, lambat atau cepat, ia juga akan digantung“ jawab Wirantana.

“Anak dungu” tiba-tiba seorang diantara mereka membentak, “dengar perintah kami”

Wajah Wirantana jadi merah. Dengan geram ia berkata, “Aku tidak akan menuruti perintahmu. Besok aku akan bertanya pada Raden Panji, apakah ia benar-benar kecewa terhadap adikku, dan menuduhnya berkhianat sebelum benar-benar jadi istri Raden Panjl. Jika tuduhan itu benar-benar dilontarkan oleh Raden Panji, sebaiknya dia mengambil langkah-langkah yang pantas dari seorang pemimpin”

Kedua orang itu menjadi tegang. Seorang diantara mereka berkata, “Jika ada diantara kalian yang menanyakan hal itu pada Raden Panji, setelah itu kita akan membuat perhitungan”

“Aku akan menanggung semua akibat dari perbuatanku“ jawab Wirantana, “mungkin akibat itu sangat menyakitkan. Bahkan mungkin kematian. Tapi nilai adikku tidak hanya sebesar mas kawin yang diberikan Raden Panji, berapapun banyaknya”

“Anak iblis“ geram seorang diantara kedua orang itu, “pikirkan dulu segala langkahmu agar kau tidak menyesal. Kau jangan menganggap aku sedang bermain-main”

“Perjalanan yang kami tempuh juga bukan tamasya yang sejuk segar“ jawab Wirantana, “nyawa kami pun hampir tersangkut dalam perjalanan itu”

Kedua orang itu menggeretakkan gigi. Seorang diantara mereka berkata, “Marilah. Memang sulit bicara dengan orang-orang padesan yang dungu. Tapi jika besok ia benar-benar digantung, itu bukan salah kita”

Dengan tergesa-gesa, kedua orung itu meninggalkan serambi gandok. Keduanya turun ke halaman dan kemudian keluar dari regol.

Wirantana, Manggada dan Laksana masih duduk di serambi. Dengan geram Wirantana berkata, “Orang itu telah menghilangkan kantukku”

“Apa maksudnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan hati itu“ desis Laksana.

“Kita memang perlu berhati-hati“ desis Manggada. Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah, ia bertanya, “Jika kalian berdua mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, kalian akan meneruskan perjalanan kemana?“

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Dengan nada rendah Manggada berkata, “Agaknya kita masih harus jalan bersama-sama”

“Kenapa?“ bertanya Wirantana.

“Orang-orang itu telah mengancam. Sebaiknya kau tidak menempuh perjalanan sendiri”

“Jadi kalian akan kembali lagi ke rumah kami?“ bertanya Wirantana.

Manggada dan Laksana hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Wirantana berdesis hampir pada diri sendiri, “Jangan terlalu memikirkan keselamatan kami. Aku tahu, kalian tentu punya kepentingan sendiri. Biarlah kami coba menyelesaikan persoalan kami sendiri”

“Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh waktu dan keadaan“ jawab Manggada, “kami dapat mengubah rencana kami jika keadaan memanggil”

Wirantana tidak menjawab. Dalam keremangan cahaya lampu minyak, ia melihat seseorang mendekati tempat itu. Seorang yang abdi tua dari orang yang menerima kedatangan Mas Rara dan para pengiringnya.

Dengan ramah orang itu berdesis, “Selamat malam anak-anak muda. Kiranya masih belum mengantuk”

“Belum Kiai“ jawab Manggada, “udara terlalu panas di dalam”

“Bolehkah aku duduk?“ bertanya orangtua itu.

“Silahkan Kiai, silahkan“ Wirantana mempersilahkan sambil membimbing orangtua itu duduk di serambi gandok.

“Aku melihat dua orang tadi datang kemari“ berkata orangtua itu.

“Ya. Menurut keterangannya, mereka adalah pembantu dekat Raden Panji“ jawab Wirantana.

Orangtua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Keduanya memang mengabdi pada Raden Panji. Keduanya memang termasuk dekat, tapi tidak terlalu dekat”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara, orangtua itu kembali berkata, “Aku tidak begitu mengerti apa yang kalian bicarakan dengan kedua orang itu anak muda. Tapi tampaknya kalian telah berselisih paham”

“Ya, Kiai“ jawab Wirantana, “memang terjadi salah paham, tapi tidak terlalu penting”

“Apakah ia menyebut tentang Raden Panji?“ bertanya orangtua itu.

Wirantana memang terbuka. Ia mengatakan apa yang telah dibicarakannya dengan kedua orang tadi.

Tanggapan orangtua itu mengejutkan. Katanya, “Pantas. Aku sudah mengira bahwa la akan memperkecil arti Mas Rara bagi keluarganya, bagi Raden Panji dan bagi orang banyak”

“Kenapa?“ bertanya Wirantana.

“Istri Raden Panji yang terakhir adalah salah seorang dari saudara mereka“ jawab orangtua itu.

“Istri yang terakhir?“ bertanya Manggada dengan nada tinggi.

Orangtua itu termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya, isteri yang terakhir, yang disingkirkannya beberapa saat lalu”

“Berapa isteri Raden Panji? Maksudku, sudah berapa kali ia kawin?“ bertanya Wirantana.

Orangtua itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berkata, “Yang aku ketahui ngger, Raden Panji telah pernah kawin lima kali. Dua diantaranya meninggal. Sedangkan tiga orang telah diceraikan. Yang terakhir dicerai adalah adik dari orang yang datang kemari itu.
Jantung ketiga anak muda itu berdegup keras. Baru saat itu mereka tahu, bahwa Raden Panji telah pernah kawin lima kali.
Tetapi mereka tidak banyak bertanya lagi. Orang itu kemudian berkata, “selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang Raden Panji Prangpranata”

“Ia seorang prajurit?“ bertanya Laksana.

“Ya“ jawab orangtua itu singkat.

Laksana mengangguk-angguk. Tetapi ternyata masih meluncur pertanyaannya, “Kenapa ia kawin sampai lima kali?“

Orangtua itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu apa-apa lagi”

“Berapa putera Raden Panji“ bertanya Wirantana.

“Tidak seorangpun“ jawab orangtua itu. Wirantana mengerutkan dahinya. Tetapi ia berdesis, “Itulah agaknya yang jadi sebab Raden Panji masih saja ingin kawin. Lima kali ia kawin, tetapi ternyata ia masih belum mempunyai anak yang akan menyambung hidupnya, memperpanjang darah keturunannya”

“Tetapi bagaimana jika Raden Panji sendiri yang tidak dapat mempunyai anak, karena mandul atau sebab-sebab lain?“ bertanya Manggada.

“Sudahlah” berkata orangtua itu, “kita berbicara tentang yang lain. Tidak baik kita membicarakan kekurangan seseorang. Apalagi orang itu adalah orang yang selama ini sangat kita hormati”

Wirantana, Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka memang tidak berbicara lagi tentang kekurangan-kekurangan Raden Panji. Tetapi orangtua itu berceritera tentang kelebihan Raden Panji Prangpranata.

“Saat Demak kehilangan apinya, maka telah terjadi benturan kekuatan antara para Adipati keturunan Demak, yang memperebutkan tahta. Kekuasaan Adipati Pajang memang telah berkembang paling luas diantara mereka yang berebut tahta itu. Pajang telah memasuki satu masa perang saudara melawan Jipang. Raden Panji Prangpranata adalah seorang Senopati yang ikut menentukan kemenangan Pajang atas Jipang. Karena itu maka Raden Panji sekarang telah mendapat kedudukan yang cukup baik. Raden Panji bertugas untuk mengawasi dan mendapat wewenang mengambil sikap atas nama Pajang bagi daerah yang luas di sebelah Timur kota Pajang. Agaknya sampai ke padukuhan anak-anak muda ini”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orangtua itu berceritera terus tentang kelebihan dan kuasa Raden Panji Prangpranata.

“Karena itu“ berkata orangtua itu kemudian, “beruntunglah Mas Rara yang akan menjadi isteri Raden Panji Prangpranata. Apalagi jika Mas Rara dapat memberi anak kepada Raden Panji. Maka ia benar-benar akan menjadi seorang perempuan yang sangat beruntung. Terhormat, kaya raya dan memiliki darah keturunan”

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berharap adiknya, berbahagia. Ia sudah merasa sangat kecewa ketika ia mendengar bahwa adiknya akan menjadi isteri Raden Panji yang keenam. Namun ia sedikit dapat mengerti kenapa hal seperti itu terjadi, ketika ia mendengar bahwa kelima isteri Raden Panji itu tidak berputera sama sekali.

Namun orangtua itu kemudian telah minta diri, Malam menjadi semakin dalam. Katanya, “Sudahlah. Beristirahatlah. Besok kalian pagi-pagi harus sudah siap. Bukankah Raden Panji besok akan menemui bakal isterinya?“

“Ya“ jawab Wirantana.

“Tidurlah. Raden Panji sangat menghargai waktu. Jika besok ia datang dan kalian belum siap, maka kalian akan ditinggalkannya“ berkata orang itu.

“Ditinggal kemana?“ bertanya Wirantana pula.

“Maksudku, kalian tidak akan dihiraukan lagi. Raden Panji sangat membenci orang yang terlambat“ jawab orangtua itu.

“Tetapi Raden Panji tidak mengatakan, kapan ia datang. Saat matahari terbit, sepenggalah, saat gumatel atau saat pasar temawon? Atau tengah hari?“ sahut Wirantana.

“Raden Panji yang menentukan segala-galanya. Bukan orang lain. Karena itu, maka orang lainlah yang harus menyesuaikan diri. Bangunlah pagi-pagi, lalu mandi. Kalian harus siap setiap saat Raden Panji memanggil kalian” berkata orangtua itu pula.

“Jadi bagaimana dengan Mas Rara?“ bertanya Wirantana, ”Apakah ia sudah tahu akan hal itu?“

“Tentu sudah. Perempuan-perempuan yang merawat dan melayani tentu sudah tahu, kapan ia harus siap. Diantara perempuan-perempuan itu, terdapat juru riasnya. Ia akan mulai meriasnya pagi-pagi sekali. Sudah tentu Mas Rara harus mandi sebelum matahari terbit” berkata orangtua itu pula.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Gambarannya tentang Raden Panji menjadi semakin kabur. Ia tidak dapat melihat watak dan sifat Raden Panji sebagai satu kebulatan. Setiap keterangan telah memberikan gambaran yang berbeda-beda.

Namun Wirantana memang tidak terlalu banyak bertanya. Tetapi keterangan orangtua itu telah menahan keinginannya untuk berbicara langsung dengan Raden Panji.

Demikianlah, sejenak kemudian, maka orangtua itu pun telah meninggalkan gandok. Tertatih-tatih ia berjalan di kegelapan melintas pendapa dan hilang di balik regol halaman yang dijaga oleh prajurit bersenjata.

Wirantana tidak dapat mengatakan kepada siapa pun gambarannya tentang Raden Panji itu. Namun yang penting baginya, apakah Raden Panji itu dapat membahagiakan adiknya atau tidak.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh orangtua itu, agar mereka beristirahat, maka Wirantana pun kemudian telah mengajak Manggada dan Laksana masuk ke dalam biliknya.

“Sebaiknya sekarang kita tidur saja“ berkata Wirantana.
Manggada dan Laksana pun telah mengikuti Wirantana pula. Laksanalah yang menutup pintu bilik itu, menyelaraknya dan kemudian melangkah ke pembaringan.

Namun ternyata tidak mudah untuk segera dapat tidur. Apalagi Wirantana. Ia selalu membayangkan sosok Raden Panji Prangpranata. Seorang prajurit yang gagah berani, bertubuh tinggi kekar, berwajah keras. Terlalu yakin akan dirinya sendiri, sombong dan menganggap orang lain tidak terlalu penting.
Bahkan Manggada dan Laksana pun telah ikut pula membayangkan Raden Panji itu di dalam angan-angan mereka. Keduanya merasakan suasana yang aneh di rumah itu. Sejak mereka datang, sudah terasa suasana yang agak kurang baik bagi keduanya. Suasuna itu terasa sekali ketika seseorang mempersilahkan Wirantana untuk naik dan menahan Manggada dan Laksana untuk tidak menyertainya. Namun kedua anak muda itu telah mencoba untuk menempatkan diri dengan baik, sehingga mereka tidak menunjukkan sikap bahwa mereka telah tersinggung.

Tetapi kedua anak muda itu tidak berkepentingan langsung sebagaimana Wirantana. Karena itu, maka keduanya tidak terlalu dicekam oleh angan-angannya tentang Raden Panji Prangpranata itu. Mereka hanya orang yang terkait karena kebetulan saja. Seandainya mereka tidak menemukan Mas Rara hampir menjadi korban kuku-kuku harimau yang ganas, maka mereka tidak akan berada di tempat itu.

Di ruang dalam, di bilik yang telah disediakan khusus bagi Mas Rara, ternyata bahwa Mas Rara sendiri pun menjadi sangat gelisah. Seperti Wirantana, maka hampir semalam suntuk gadis itu tidak dapat memejamkan matanya. Hanya karena badannya yang letih sajalah ia akhirnya lelap sesaat.

Tetapi pagi-pagi sekali perempuan-perempuan yang menungguinya telah menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan alat-alat untuk merias Mas Rara. Ternyata seperti yang dikatakan oleh orangtua yang menemui Wirantana dan Manggada serta Laksana, pagi-pagi sekali Mas Rara harus sudah disiapkan untuk menerima kedatangan Raden Panji.
Ketika Mas Rara terbangun, maka dua orang perempuan sudah merasa gelisah menunggu. Tetapi keduanya juga merasa segan untuk membangunkan gadis itu, karena mereka tahu, bahwa Mas Rara belum lama tertidur.

Untunglah bahwa kesibukan di dalam bilik itu telah membangunkannya. Demikian ia bangkit dan duduk di pembaringan, maka kedua orang perempuan itu sudah mendekatinya. Seorang diantara mereka berkata, “Mas Rara. Marilah kami bantu Mas Rata mandi dengan air yang sudah kami siapkan”

Mas Rara termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, “Aku dapat mandi sendiri bibi”

“Kami telah menyiapkan air bunga yang wangi. Mas Rara akan segera menerima kedatangan Raden Panji Prangpranata. Karena itu, kami telah siap untuk membantu Mas Rara mempersiapkan diri” berkata perempuan itu.

Mas Rara tidak dapat mengelak ketika kedua orang perempuan itu kemudian membimbingnya membawa ke pakiwan.

Ternyata dua orang perempuan yang lain telah menunggu di pakiwan. Mereka telah menyiapkan air bunga di sebuah jambangan khusus. Beberapa macam bunga telah ditaburkan ke dalam air di jambangan itu.

Selain air bunga, telah disiapkan pula boreh berwarna kuning di dalam sebuah mangkuk tembaga yang berukir.

Seperti seorang bayi, maka Mas Rara harus membiarkan dirinya dimandikan oleh kedua orang perempuan itu. Kemudian mengusap seluruh tubuhnya dengan boreh itu.
Di pakiwan yang lain, Wirantana telah mandi pula. Ia tidak mau terlambat sebagaimana dikatakan oleh orangtua di serambi gandok semalam. Setelah Wirantana, maka Manggada dan Laksana pun telah berbenah diri pula.

Namun ternyata, ketiga anak muda yang berusaha untuk berpakaian serapi-rapinya itu, masih juga menjadi berdebar-debar. Sosok Raden Panji menjadi semakin membingungkan mereka. Karena itu, mereka jadi ingin berbuat sebaik-baiknya. Mereka tidak mau memberikan kesan buruk, demikian Raden Panji melihat mereka.

Karenanya, ketiga anak muda itu berbuat apa saja yang dapat mereka lakukan. Apalagi Wirantana, kakak Rara Wulan. Beberapa kali ia minta Manggada membetulkan ikat kepalanya.
“Bukankah sudah tidak miring?“ bertanya Wirantana.

“Kau tidak akan didudukkan di pelaminan hari ini Wirantana“ Laksana sempat bergurau dalam ketegangan itu.

Wirantana tertawa. Ia dapat juga menjawab, “Tetapi aku adalah kakak Rara Wulan, bakal istri Raden Panji yang besar itu”

Tapi jawaban itu justru merupakan ujung duri yang menyengat jantungnya sendiri. Tiba-tiba saja ia teringat bahwa Rara Wulan akan menjadi istri Raden Panji yang keenam.
Begitu matahari mulai naik, seorang pelayan menghidangkan makan pagi untuk ketiga orang muda itu. Bahkan pelayan itu sempat berpesan, “Silahkan anak-anak muda, sebelum Raden Panji datang”

“Kapan Raden Panji datang? bertanya Wirantana.

“Kami tidak tahu anak muda. Pada saatnya, tentu akan datang utusan untuk memberitahukan kedatangan Raden Panji“ jawab pelayan yang menghidangkan makan pagi itu.
Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu iapun berdesis, “Terima kasih”

Sepeninggal pelayan itu, Wirantana mengajak Manggada dan Laksana makan. Betapapun mereka memikirkan Raden Panji dan Mas Rara, namun anak-anak muda itu ternyata juga mampu menikmati hidangan yang diberikan kepada mereka.
“Jika setiap hari kita sempat makan seperti ini, maka kita akan segera menjadi gemuk“ desis Laksana.

“Tidak baik bagi pengembara“ jawab Manggada.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Betapapun banyaknya kita makan, dan betapapun enaknya makan yang dihidangkan, tetapi jika hidup kita selalu dipanggang dalam kegelisahan, kita tidak akan dapat menjadi gemuk”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil menyuapi mulutnya, Laksana berkata, “Aku sependapat. Ketenangan dan kedamaian dihati, membuat tubuh kita menjadi segar”

Tetapi pembicaraan mereka terputus. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara ribut di halaman. Demikian mereka selesai makan, maka merekapun telah melangkah ke pintu, untuk melihat siapa yang baru saja datang.

Ketiga anak muda itu menjadi berdebar-debar. Dua orang prajurit telah berada dihalaman sambil memberikan beberapa pesan kepada kawan-kawannya yang memang sudah berada di halaman rumah itu. Kemudian perempuan-perempuan yang melayani Mas Rara pun telah mendapat pesan pula.

“Tampaknya Raden Panji sudah akan datang“ desis Wirantana.

Kedua anak muda yang lain telah mengangguk. Manggada berdesis, “Sebentar lagi kau akan dipanggil naik”

“Bersama kalian“ sahut Wirantana.

“Jangan. Segala sesuatunya tergantung kepada perintah Raden Panji. Jangan membantah, sehingga kesan pertama pertemuanmu dengan Raden Panji tidak terasa suram. Biarkan kami berada dimana saja. Malahan kami akan bergabung dengan kedua orang tenaga Ki Jagabaya yang membawa pedati kuda itu” berkata Manggada selanjutnya.

“Tetapi itu tidak adil“ jawab Wirantana.

“Jika persoalannya adalah persoalan keluarga, maka itu cukup adil” jawab Manggada.

Wirantana tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih memperhatikan kedua prajurit yang memberikan beberapa pesan itu.

Beberapa orang perempuan yang melayani Mas Rara pun telah kembali pula kedalam bilik yang diperuntukkan bagi Mas Rara.

Sementara itu, seorang yang sudah berusia agak lanjut, sempat memberikan tuntunan apa yang harus dilakukan oleh Mas Rara. Bagaimana ia harus menghadap Raden Panji, berlutut di hadapannya, dan menyembah.

“Lakukan dengan sepenuh hati“ pesan perempuan itu dengan nada lembut, “kau akan menjadi seorang istri yang baik”

Mas Rara tidak menjawab. Ia menurut saja, “ketika perempuan itu mempersilahkannya. Beberapa kali perempuan itu memperbaiki sikapnya, sehingga akhirnya perempuan itu berkata, “Bagus Mas Rara. Kau sudah melakukan yang paling baik untuk menyenangkan hati Raden Panji”

Jantung Mas Rara berdegup semakin keras. Ia tidak menjawab. Tetapi hatinya menjerit. Ia merasa sebagai sesuatu yang sekadar untuk menyenangkan hati Raden Panji.

Tetapi sejak semula Mas Rara memang merasa bahwa ia telah kehilangan dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya untuk kepentingan orang lain. Bukan untuk dan karena niatnya sendiri.

Dalam pada itu, Wirantana dan kedua sahabatnya, Manggada serta Laksana, sudah duduk di serambi untuk mempersiapkan diri. Kedua prajurit itu telah melihat ketiga anak muda itu pula. Tetapi mereka seakan-akan tidak menghiraukannya.

“Mungkin mereka tidak tahu bahwa kau adalah kakak Mas Rara“ berkata Manggada.

“Aku akan tetap berada disini, jika tidak ada perintah untuk berbuat sesuatu. Aku tidak mau dipersalahkan, atau bahkan mengetahui perlakuan kurang baik. Karena itu, lebih baik menunggu saja disini” desis Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Wirantana. Agaknya, di tempat itu, mereka sama sekali tidak mengenal kebiasaan yang berlaku.

Ketika prajurit itu merasa sudah cukup menyampaikan pesan-pesannya, keduanya kemudian meninggalkan halaman itu tanpa berpaling lagi pada anak-anak muda yang berada di serambi gandok. Sementara itu, orang yang berumur separo baya, yang kemarin menerima kedatangan Mas Rara, mengikutinya sampai ke regol.

Sepeninggal kedua orang prajurit itu, rumah itu terasa makin sibuk. Di pendapa, tikar pandan yang putih, berbunga-bunga anyaman berwarna biru, telah terbentang. Sementara para pelayan membenahi pakaian mereka.

Diantara mereka yang sibuk itu, tidak seorang pun berbicara kepada Wirantana tentang kedatangan Raden Panji. Sedangkan Wirantana sendiri tampaknya tidak mau menemui orang-orang yang sibuk itu, untuk bertanya pada mereka apa yang harus dilakukannya.

Namun ternyata anak-anak muda itu jadi gelisah dalam sikap menunggunya itu. Beberapa saat telah lewat. Belum ada tanda-tanda lagi bahwa Raden Panji. akan segera datang, Sementara, segala sesuatunya sudah siap. Telah dua kali pelayan di rumah itu membersihkan debu diatas tikar pandan yang terbentang di pendapa.

“Berapa kali tikar itu dibersihkan dari debu?“ desis Manggada.

“Sehari dua puluh satu kali“ jawab Wirantana. Namun terasa hatinya yang kesal terungkap pada nada kata-katanya itu.

Ketika seorang pelayan mengambil mangkuk-mangkuk dan sisa makan pagi dibilik gandok, Wirantana bertanya, “Kapan Raden Panji Prangpranata akan datang?“

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian menjawab, “Sudah tentu sebentar lagi. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Utusannya sudah datang mendahuluinya”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara pelayan itu berkata, “Aku harus menyingkirkan sisa-sisa makanan itu sebelum rombongan Raden Panji datang”

Demikianlah. Pelayan itu dengan tergesa-gesa telah membawa sisa-sisa makanan itu kebelakang. Pertanyaan Wirantana seakan-akan telah memperingatkannya bahwa sebentar lagi rombongan Raden Panji akan datang.

Namun ternyata seisi rumah itu masih menunggu beberapa saat. Wirantana hampir tidak sabar lagi kelika kemudian datang dua prajurit yang memberitahukan bahwa Raden Panji Prangpranata sudah siap untuk berangkat.

“Sudah siap untuk berangkat, atau sudah sampai ke rumah ini“ desis Wirantana dengan nada kesal.

“Menurut pendengaranku, siap untuk berangkat“ jawab Manggada.

“Jadi kita masih harus menunggu Raden Panji beranjak untuk turun dari pendapa, kemudian melihat-lihat tanaman di halaman rumahnya yang tentu bagus sekali itu. Lantas memberikan pesan pada orang-orangnya, menerima penghormatan para prajurit, dan beristirahat di regol“ gumam Wirantana.

“Ah, kau“ sahut Laksana, “kau harus belajar untuk bersabar sedikit”

“Aku tidak telaten. Coba bayangkan, kita harus menunggu Raden Panji itu tertidur di regol“ geramnya.

“Sudahlah. Sebentar lagi Raden Panji akan datang“ berkata Manggada.

Di ruang dalam, Mas Rara pun telah dipersiapkan. Gadis itu harus kelihatan sangat cantik. Kulitnya menjadi kekuning-kuningan, setelah diusap dengan boreh yang berwarna kuning.
Sekali lagi pakaian dan riasnya dilihat oleh orang yang usianya sudah agak lanjut itu. Mas Rara telah dimintanya untuk berdiri dan berputar-putar untuk dilihat kembali segala sesuatunya dari segala arah.

“Kita harus siap. Segala sesuatunya tidak boleh mengecewakan. Sebentar lagi Raden Panji akan datang“ berkata perempuan itu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian seorang lagi telah datang dan memberitahukan bahwa sebuah iring-iringan kecil telah mulai bergerak dari regol rumah Raden Panji di sebelah.
Demikianlah. Seisi rumah itu menjadi tegang. Raden Panji akan segera memasuki regol halaman rumah itu. Para prajurit yang bertugas telah siap menerima kehadiran Raden panji Prangpranata.

Sejenak kemudian, dua prajurit memasuki regol, mendahului sebuah iring-iringan kecil. Bukan hanya sekelompok prajurit, tapi juga beberapa orang yang dituakan oleh Raden Panji Prangpranata.

Raden Panji sendiri berjalan paling ujung. Sebelah menyebelah, agak dibelakangnya, berjalan dua orang yang sudah separo baya. Dibelakangnya lagi, beberapa orang bawahan Raden Panji dan beberapa pengiring yang lain.

Wirantara, Manggada dan Laksana menjadi tegang, seperti kebanyakan orang yang ada disitu. Anak muda itu sudah ikut turun ke halaman. Berdiri beberapa langkah disisi pendapa. Sementara itu, dari pintu pringgitan, beberapa orang telah membimbing Mas Rara keluar dari ruang dalam.

Raden Panji dan Mas Rara memang belum memasuki upacara perkawinan. Tapi saat itu, seakan-akan keduanya sudah akan dipertemukan, meski pakaian yang mereka kenakan masih belum secerah dan semeriah pakaian pengantin.

Wirantana, Manggada dan Laksana termangu-mangu melihat Mas Rara yang telah diberi pakaian sangat bagus. Pakaian yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Apalagi dipakai sehari-hari. Dan dengan pakaian itu, Mas Rara ternyata tidak memberikan kesan seorang gadis desa yang setiap hari bekerja di sawah, menumbuk padi dan bekerja didapur. Mas Rara tampak seperti seorang perempuan yang memang pantas dihormati karena derajatnya.

“Aneh“ desis Manggada didalam hatinya, “tidak seorangpun akan mengira bahwa gadis itu adalah dari padukuhan Nguter asalnya. Padukuhan yang berada didekat hutan lebat, diantara bukit-bukit padas dan padang perdu”

Demikian iring-iringan Raden Panji memasuki regol, dengan Raden Panji yang berjalan paling depan, anak-anak muda yang berdiri disisi pendapa itu terkejut. Untuk sesaat, mereka justru bagaikan membeku. Mereka melihat orang yang sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Raden Panji Prangpranata memang seorang yang bertubuh tinggi tegap, sebagaimana umumnya seorang Senapati terpilih. Sikapnya mencerminkan sikap seorang prajurit yang tegar lahir dan batinnya. Tapi yang membuat jantung anak-anak muda itu berdebaran adalah kenyataan tentang Raden Panji itu. Wajahnya mecerminkan umurnya yang telah mulai condong menurun. Bahkan tidak lebih muda dari orang-orang separo baya yang menjadi pengapitnya.

Bahkan, jika dipandang wajahnya dengan seksama, akan tampak beberapa goresan diwajah itu. Goresan senjata yang membuatnya benar-benar tampak sebagai seorang prajurit yang telah menjelajahi pertempurun demi pertempuran. Namun wajah yang demikian, dalam umur yang mendekati senja, membuatnya bukan lagi seorang pria yang diimpi-impikan oleh gadis-gadis yang baru meninggalkan masa remajanya.

Wirantana benar-benar menjadi tegang melihat sosok Raden Panji itu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan melihat bakal iparnya seorang yang sudah terlalu tua buat adiknya. Berwajah cacad, dan seorang pemimpin yang sangat meyakini akan derajat dan kedudukannya.

Untuk beberapa saat lamanya, Wirantana bagaikan mematung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sementara, Manggada dan Laksana pun menjadi bingung. Mereka tidak segera percaya bahwa orang yang menjadi ujung iring-iringan itu, dan menjadi pusat segala perhatian, adalah Raden Panji Prangpranata.

Namun ternyata seorang yang mendahului berdiri disebelah tangga pendapa telah memberitahukan kepada orang-orang yang ada disekitar pendapa itu, “Raden Panji Prangpranata berkenan naik ke pendapa, menemui bakal istrinya yang telah
disiapkan untuk menerimanya”

Demikianlah. Sejenak kemudian, Reden Panji naik ke pendapa dengan para pengiringnya. Seperti yang sudah diberitahukan oleh perempuan-perempuan yang harus melayaninya. Mas Rara menyambut kedatangan Raden Panji sambil berjongkok dihadapannya dan kemudian menyembah.

Wirantana masih berdiri dihalaman. Diluar sadarnya, giginya telah terkatub rupat, “Jadi, inikah kenyataan itu?“ Wirantana menggeram dalam hati, “ayah dan ibu tidak pernah berterus terang kepadaku. Mas Rara pun lebih baik menahan diri, sambil menangis dan membiarkan jantungnya terhimpit oleh perasaannya. Apakah yang sebenarnya terjadi pada keluargaku?

Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Mereka melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Mas Rara yang cantik itu ternyata telah dipersiapkan untuk menjadi bakal istri seorang yang telah terlalu tua baginya, serta berwajah sama sekali tidak menarik. Mungkin dari belakang Raden Panji masih bisa menggetarkan hati perempuan karena bentuk tubuhnya. Tetapi ketika kemudian disadari bahwa laki-laki itu mengalami cacat wajah, dan umurnya sudah mendekati senja, perempuan-perempuan yang semula tertarik tidak akan dapat menginginkan kenyataan bahwa laki-laki itu sama sekali tidak menarik hati.
Tetapi Mas Rara telah disiapkan untuk menjadi istri laki-laki itu. Istri yang keenam.

Jantung Wirantana bagaikan terguncang. Dadanya terasa lebih sakit lagi ketika ia sadar bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

Sejenak kemudian, Raden Panji Prangpranata telah duduk di pendapa. Mas Rara duduk beberapa langkah dihadapannya, dikerumuninya oleh beberapa orang perempuan.

Ternyata Mas Rara tidak dapat menahan gejolak hatinya, sehingga titik-titik air matanya mulai meleleh dipipinya.

Agaknya Raden Panji melihat airmata itu. Bahkan pertanyaannya yang pertama adalah justru tentang airmata itu.
“Kenapa ia menangis?“ bertanya Raden Panji, “apakah pelayanan kalian tidak cukup memadai?“

“Ampun Raden Panji“ jawab perempuan yang usianya sudah agak lanjut, “Mas Rara merasa sangat terharu, bahwa sebagai seorang gadis desa, ia telah mendapat kesempatan untuk diangkat pada derajat yang tinggi. Sebab Raden Panji berkenan memperistrinya”

“O“ Raden Panji mengangguk-angguk, “ia memang cantik. Aku senang ia datang”

“la pasti datang tepat pada waktunya Raden“ jawab perempuan itu, “kapan saja Raden memerintahkan, gadis itu tentu akan menghadap”

Tetapi Raden Panji mengerutkan dahinya sambil berkata, “Aku masih tetap mempercayainya meskipun aku sudah mendengar bahwa pamannya telah berusaha untuk melarikannya. Aku kira, seperti laporan yang aku dengar, gadis ini tidak pernah mengadakan kesepakatan dengan pamannya untuk melarikan diri”

“Ya Raden“ jawab perempuan tua itu, “ia adalah seorang gadis yang telah setia, menurut dan memiliki banyak kepandaian”

“Aku sudah mengerti. Aku sudah mendapat laporan tentang itu, “jawab Raden Panji. lalu katanya, “siapa saja yang menyertai gadis itu?

“Kakak kandungnya Raden“ jawab perempuan itu.

“O“ Raden Panji mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, seseorang yang duduk beberapa jengkal dibelakang Raden Panji berkata, “Kedua anak muda yang menolong Mas Rara dari taring harimau itu juga ikut menyertai Mas Rara, Raden”

“O, anak-anak sombong itu desis Raden Panji.

Tetapi Raden Panji sama sekali tidak bermaksud untuk menjaga agar kata-katanya tidak didengar oleh orang lain. Meski tidak terlalu keras, tetapi kata-kata itu jelas didengar oleh orang-orang bukan saja yang berada di pendapa, tapi juga yang berdiri disekitar pendapa, termasuk Wirantana, Manggada dan Laksana.

Ketiga orang anak muda itu memang terkejut mendengar tanggapan Raden Panji terhadap Manggada dan Laksana yang telah menolong Mas Rara dari terkaman harimau di pinggir hutan itu. Namun untuk beberapa saat kedua anak muda itu masih berusaha untuk menahan diri, sehingga keduanya masih berdiri termangu-magu di tempatnya. Apalagi mereka menyadari, siapakah yang telah mengatakannya itu.

Meskipun demikian, Manggada dan Laksana bukannya tidak berbuat apa-apa. Mereka justru telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi.
Dalam ketegangan itu, Raden Panji itu pun kemudian berkata, “Aku sudah duduk beberapa saat, tapi gadis itu belum berbicara apa-apa”

“Mas Rara seorang pemalu Raden“ sahut perempuan yang sudah agak tua itu, “ia hanya mampu menyampaikan ucapan selamat serta sembah baktinya dengan tingkah laku”

“Ya. Ia sudah berjongkok dan menyembah dihadapanku. Tetapi ia harus menyapaku dan menyampaikan baktinya langsung dengan kata-kata“ berkata Raden Panji.

Perempuan tua itu memang menjadi gelisah. Ia tidak menyangka bahwa Raden Panji akan memerintahkan gadis itu untuk menyapanya, sehingga ia tidak mengajarinya lebih dahulu.

Namun demikian, perempuan tua itu masih berusaha untuk menghindarkan Mas Rara dari kebingungan.

“Raden, sebaiknya Raden Panjilah yang memberikan perintah atau pesan atau pertanyaan“ berkata perempuan itu.

Tetapi jawaban Raden Panji membuat jantung perempuan Itu akan terlepas, ”sejak kapan kau mulai memerintah aku?”

Keringat dingin telah mengalir diseluruh tubuh perempuan tua itu. Tetapi la mencoba menuntun Mas Rara yang diketahuinya seorang gadis pemalu, dan lebih dari itu,
gadis itu nampaknya telah memikul beban di hatinya. Dan perempuan tua itu pun mengerti, bahwa sulit bagi seorang gadis untuk menerima satu kenyataan, kawin dengan seorang laki-laki seperti Raden Panji itu.

Tetapi perempuan tua itu bukan untuk pertama kalinya melayani seorang gadis yang akan jadi isteri Raden Panji. Karena itu, meski dengan jantung berdebaran, ia masih mampu menyesuaikan dirinya.

Dengan lembut, perempuan itu berkata kepada Mas Rara, “Cobalah Mas Rara menyapa bakal suami Mas Rara, sekaligus menyampaikan sembah dan bakti Mas Rara”

Mas Rara masih saja menunduk. Rasa-rasanya, seisi dadanya telah bergejolak. la tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Karena Mas Rara tidak dapat melakukannya sendiri, maka perempuan tua itu kemudian berkata, “Marilah Mas Rara. Aku akan menuntun Mas Rara. Tirukan kata-kataku”

Mas Rara masih tetap menunduk dalam-dalam. Namun perempuan tua itu menggamitnya sambil berbicara, “Lakukanlah Mas Rara. Sebagai pernyataan cinta dan kesetiaan seorang calon isteri kepada suaminya.

Kata-kata itu bagaikan ujung duri yang menusuk jantungnya. Tetapi Mas Rara kemudian sadar bahwa ia memang telah kehilangan hak atas dirinya sendiri. Karenanya, ia harus menirukan kata-kata orang tua itu meskipun bertentangan dengan nuraninya.

Ketika orang tua itu mengucapkan beberapa patah kata, Mas Rara menirukannya, meski hampir tidak terdengar. Menyapa Raden Panji serta menyatakan bakti seorang calon isteri untuk menunjukkan cinta serta kesetiaannya, apapun yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.

“Aku tidak puas dengan caramu mengajarinya“ berkata Raden Panji kepada perempuan tua itu. Lalu katanya, “Sekarang, biar gadis itu berbicara sendiri. Seharusnya kau mengajarinya tidak di hadapanku”

“Ampun Raden Panji” perempuan tua itu mengangguk hormat.

“Jika gadis itu dapat mengucapkannya sendiri, tanpa kau tuntun lagi, kau aku maafkan. Tetapi jika tidak, kau akan mendapat hukuman. Kau tahu siapa aku? Kau tahu bagaimana aku menghukum seseorang?“

“Ampun Raden Panji. Hamba mohon ampun” minta perempuan itu.

“Tergantung kepada gadis itu“ jawab Raden Panji. Perempuan tua itu menjadi semakin berdebar-debar. Segala sesuatunya memang tergantung kepada Mas Rara.
Di sebelah pendapa, Wirantana menjadi berkeringat. Bahkan kemudian ia berdesis, “Apa sebenarnya yang dilakukan oleh Raden Panji itu?“

Manggada dan Laksana juga menjadi heran. Mereka tidak mengerti sikap Raden Panji.

Sementara itu, Mas Rara ternyata masih menyadari arti dari perbuatannya bagi orang lain. Ia sadar bahwa perempuan tua itu akan mengalami kesulitan jika ia tidak mengucapkan kata-kata sebagaimana diajarkan oleh perempuan itu.

Mas Rara yang telah kehilangan dirinya sendiri itu, ternyata masih sempat memikirkan orang lain. Perempuan tua yang selalu bersikap baik kepadanya itu, tampaknya benar-benar dalam kesulitan.

Karena itu, adalah di luar dugaan, tiba-tiba saja, meskipun suara terdengar dan tidak, Mas Rara telah mengucapkan kata-kata itu kembali sebagaimana perempuan tua itu menuntunnya.
Tiba-tiba saja Raden Panji tertawa. Di sela-sela derai tawanya, Raden Panji berkata, “Bagus. Bagus. Kau memang seorang gadis cantik dan pintar. Kau juga baik hati. Jika aku tidak mengancam perempuan tua yang bodoh ini, kau tentu tidak akan mengatakannya. Tetapi agaknya kau tidak mau melihat perempuan tua ini aku hukum. Dengan demikian, kau memang pantas menjadi isteriku. Karena dengan demikian, kau akan mendapat kemuliaan yang tinggi”

Mas Rara hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu, perempuan tua yang melayani Mas Rara itu, sempat menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia sempat berdesir perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri, “Terimakasih Mas Rara. Ternyata kau memang seorang gadis yang baik”

Demikianlah. Raden Panji pun telah mengambil tempat duduk di pendapa itu. Tidak seorang pun berani mengaturnya. Raden Panji duduk di depan pintu pringgitan, menghadap ke halaman. Sementara ia minta Mas Rara duduk di hadapannya.

“Aku belum sempat memandangi gadis itu sampai puas“ berkata Raden Panji. Namun kata-kata itu telah membuat jantung Mas Rara bagaikan tersentuh api. Tetapi ia tidak dapat mengelak untuk duduk di hadapan Raden Panji, di samping perempuan tua yang hampir saja mendapat hukuman dari Raden Panji itu.

Namun demikian, mereka duduk, Raden Panji telah bertepuk tiga kali. Dua orang pelayan khusus segera menghadapnya dengan kepala tunduk.

“Aku haus. Keluarkan hidangan sekarang saja“ perintah Raden Panji.

Kedua orang pelayan khusus itu pun segera melakukan perintah itu. Dengan tergesa-gesa, keduanya telah pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan yang harus segera dibawa ke pendapa. Untunglah perempuan-perempuan yang ada di dapur adalah orang-orang yang sudah terbiasa melayani Raden Panji, sehingga mereka pun sudah siap pula menyediakan hidangan itu.

Sejenak kemudian, hidangan pun telah disajikan. Sementara itu beberapa orang yang berdiri di sebelah menyebelah pendapa masih saja berdiri. Demikian pula Wirantana, Manggada dan Laksana.

“Apa kita akan berdiri sehari penuh di sini?“ bertanya Wnantana.

Mangada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun merekapun mulai menjadi jemu. Meskipun demikian, keduanya masih bertahan untuk tidak beranjak dari tempatnya.

“Kita menunggu sebentar“ berkata Manggada, “beberapa orang juga masih berdiri di halaman”

“Tetapi sampai kapan“ sahut Wirantana.

Manggada tidak menjawab. Seorang yang tampaknya melihat kegelisahan anak-anak muda itu mendekati mereka sambil berdesis, “Tunggulah sebentar, sampai Raden Panji mempersilahkan. Biasanya setelah hidangan disuguhkan, Raden Panji akan mempersilahkan orang-orang yang berdiri di halaman untuk duduk di serambi gandok atau di mana saja, kecuali yang dipanggilnya naik ke pendapa”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk kecil. Manggada lah yang berbisik, “Terimakasih”

Orang itu kemudian ternyata berdiri saja di belakang ketiga anak muda itu sambil menyaksikan hidangan disuguhkan di pendapa.

Sebenarnyalah, ketika hidangan itu sudah dibagikan para tamu yang ada di pendapa, Raden Panji pun berkata lantang, “Suruh anak-anak muda itu naik. Aku tahu, seorang adalah kakak Mas Rara dan dua orang adalah anak-anak muda yang merasa dirinya menjadi pahlawan. Aku memang ingin menghormati mereka dan mengucapkan terimakasih. Mereka merasa bahwa mereka telah menyelamatkan Mas Rara dari kuku-kuku harimau tua yang sudah tidak bertenaga sama sekali itu”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sementara itu Wirantana berdesis, “Kenapa tanggapannya terhadap kalian agak aneh?“

“Entahlah“ sahut Manggada, “mungkin hanya satu ungkapan saja. Mungkin Raden Panji memang orang yang baik”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seseorang telah mempersiapkan ketiga anak muda itu naik ke pendapa, duduk diantara beberapa orang tamu terhormat.

“Nah“ berkata Raden Panji kemudian, “aku persilahkan kalian semuanya menikmati hidangan yang telah disajikan ini”

Hampir serentak para tamu telah mengangkat mangkuknya, menghirup minuman yang masih panas. Wedang sere. Bahkan ada yang masih merasa terlalu panas, sehingga bibirnya terasa pedih.

Tetapi semuanya telah mengangkat mangkuknya, diletakkan di bibir mereka.

Sementara Raden Panji sendiri tampaknya menghirup minumannya dengan nikmatnya.

Wirantana yang merasa bahwa mangkuknya masih terlalu panas, akan meletakkan mangkuk itu. Namun orang yang duduk di sebelahnya berbisik tanpa menyingkirkan mangkuknya dari mulutnya, “Minumlah, meskipun tidak bersungguh-sungguh, karena minumanmu masih panas”

Wirantana termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah mendekatkan mangkuknya di bibirnya pula.

Baru ketika Raden Panji meletakkan mangkuknya, para tamu pun telah melakukannya pula.

“Apa artinya ini semua“ berkata Wirantana di dalam hatinya. Tetapi ia masih menahan diri untuk tetap berdiam diri.
Manggada dan Laksana pun merasa heran melihat kebiasaan yang agaknya memang berlaku diantara orang-orang yang dekat dengan Raden Panji.

Demikian orang-orang yang ada di pendapa itu meletakkan mangkuknya. Raden Panji tiba-tiba berkata kepada Wirantana, “He, anak muda. Apakah kau memang kakak kandung Mas Rara?“

Wirantana memang agak bingung. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Ya Raden Panji. Aku adalah kakak kandungnya”

Raden Panji mengangguk-angguk. Katanya, “Aku hampir tidak percaya. Mas Rara adalah seorang gadis yang cantik. Tetapi kau tampaknya seperti benar-benar anak pedesaan”

Wirantana benar-benar menjadi bingung, bagaimana harus menjawab. Selain ia merasa tersinggung, iapun merasa heran bahwa Raden Panji telah mengatakan hal itu di hadapan banyak orang.

Namun Raden Panji berkata selanjutnya, “Tetapi ayah dan ibunya pun tidak pantas menjadi orang tua Mas Rara. Apalagi setelah Mas Rara mengenakan pakaian yang pantas. Maka rasa-rasanya Mas Rara bukan anak padukuhan Nguter.

Wajah Wirantana terasa panas. Orang itu bukan saja telah merendahkan dirinya, tapi juga ayah dan ibunya.

Diam-diam Wirantana memandang adiknya, yang dirias dengan baik. Ia memang melihat bahwa adiknya tidak seperti anak-anak pedesaan. Tidak seperti gadis Nguter kebanyakan. Tetapi bagaimanapun juga sulit baginya untuk menerima kata-kata Raden Panji itu tentang orang tuanya.

Meskipun demikian, Wirantana masih saja menahan diri. Ia justru telah menundukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Sebenarnyalah yang merasa tersinggung bukan hanya Wirantana. Tetapi juga Mas Rara. Tetapi gadis itu sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun Mas Rara harus bertahan dengan sekuat tenaganya agar air mata tidak menitik. Apalagi untuk menangispun Mas Rara tidak lagi berani melakukannya.

Karena Wirantana hanya menundukkan kepalanya saja, maka Raden Panji mulai memandang kedua anak muda yang duduk di dekat Wirantana. Sambil mengangguk-angguk, Raden Panji bertanya, “Apakah kau berdua pernah berguru pada seseorang?“

Manggada dan Laksana terkejut. Raden Panji memang memandang pada mereka. Tetapi pertanyaan itu masih terasa meragukan. Apakah memang ditujukan pada mereka.

Namun dalam pada itu, Raden Panji tiba-tiba saja membentak, “He, kau yang merasa dirimu pahlawan. Siapa namamu, he?“

Barulah Manggada dan Laksana yakin bahwa Raden Panji memang berbicara kepada mereka. Mereka yakin bahwa Raden Panji sudah mengetahui nama mereka. Tetapi keduanya harus menjawab pertanyaan itu, “Namaku Manggada Raden Panji. Dan ini adalah adik sepupuku. Namanya Laksana”

Raden Panji mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Apakah adik sepupumu itu bisu?“

Pertanyaan itu sangat mengejutkannya. Hampir di luar sadarnya, Manggada menjawab, “Tidak, Raden Panji”

“Jika tidak, suruh ia menjawab sendiri. Siapa namanya“ berkata Raden Panji tanpa memandang kedua anak muda itu.

Jantung kedua anak muda itu bagaikan berdentang semakin cepat dan keras. Tapi keduanya tidak dapat berbuat lain. Laksana akhirnya menjawab pertanyaan itu, “Namaku Laksana, Raden Panji”

“Bagus“ jawab Raden Panji, “ternyata kalian tahu apa yang harus kalian lakukan“ Raden Panji mengangguk-angguk. Namun Raden Panji masih bertanya, “Kenapa kalian berdua menolong Mas Rara ketika hampir saja diterkam seekor harimau?“

Pertanyaan itu cukup membingungkan. Manggada dan Laksana bahkan Wirantana dan orang-orang yang ada di pendapa itu, tidak mengerti kenapa Raden Panji bertanya seperti itu. Karenanya, untuk beberapa saat Manggada dan Laksana tidak segera bisa menjawab. Keduanya saling berpandangan dengan jantung berdebaran.

Dalam pada itu, Raden Panji telah bertanya lagi, “He, apakah kalian pernah berguru? Kalian belum menjawab pertanyaanku”

Keduanya jadi semakin bingung. Tetapi Manggada coba menjawab, “Tidak Raden Panji. Kami tidak pernah berguru“

“Jadi, kenapa kalian berusaha melawan seekor harimau. Bukankah itu berarti bahwa kalian akan dapat mati diterkam oleh harimau itu?“ bertanya Raden Panji pula.

Kedua anak muda itu tidak tahu apakah Raden Panji sedang menguji mereka, atau sedang bergurau, atau tengah menyelidiki mereka.

“He, sekarang kalian berdua jadi bisu“ bentak Raden Panji.
Manggada yang kebingunganpun tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab apa saja yang dapat dikatakannya, “Raden Panji. Agaknya memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong”

“Apakah kau benar-benar berusaha menolong tanpa pamrih? Atau kalian mau mempertaruhkan nyawa kalian karena ada yang ingin kalian dapatkan dari pertolongan yang mahal itu?“ desak Raden Panji.

Manggada memang jadi makin bingung. Tapi ia masih berusaha menjawab, “Tidak ada pamrih apapun Raden Panji. Tiba-tiba saja, ketika kami melihat seekor harimau merunduk siap menerkam Mas Rara, kami dengan serta merta berusaha menolongnya”

Tetapi Raden Panji justru tertawa. Katanya dengan nada tinggi, “Apakah kau tidak tahu bahwa taring harimau itu sangat tajam? Apakah kau tidak pernah mendengar bahwa kuku-kuku harimau lebih runcing dari ujung duri?“

Kedua anak muda itu jadi makin bingung. Keduanya hanya dapat menundukkan kepalanya. Sementara Raden Panji berkata selanjutnya, “Aku tahu bahwa kau berdua tidak jujur. Kalian tentu punya pamrih. Tapi tidak apa-apa. Itu wajar sekali dilakukan anak-anak padesan. Apalagi untuk satu kerja yang harus mempertaruhkan nyawa. Sedang untuk kerja-kerja kecil, dan tidak berarti, seseorang tentu menginginkan upah sebanyak-banyaknya. Apalagi untuk membunuh seekor harimau. Karena itu, aku berpesan agar kalian ikut dibawa kemari bersama Mas Rara, sebab aku ingin memberi kalian upah sepantasnya”

Tetapi Raden Panji terkejut ketika Manggada menjawab, “Ampun Raden Panji. Kami sama sekali tidak menginginkan upah apapun. Kami melakukannya karena kami merasa berkewajiban”

Beberapa orang berpuling pada Manggada. Bahkan orang yang duduk di dekatnya langsung berdesis, “Jangan menolak. Jangan pernah menolak pemberian Raden Panji. Apalagi itu disebutyya sebagai satu hadiah”

Manggada memang mendengarnya. Tapi ia sudah terlanjur menolak. Karenanya ia jadi makin bingung. Sementara itu, wajah Raden Panji menjadi merah. Anak muda itu telah berani menolak pemberiannya. Dengan marah, Raden Panji pun membentak, “Jadi kau menolak hadiahku?“

Untuk sesaat Manggada termangu-mangu. Laksana pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Demikian pula Wirantana. Sementara, Mas Rara yang selalu gelisah, jadi makin gelisah.

“Jika kalian tidak menginginkan hadiah, lalu apa?“ suara Raden Panji menjadi gemetar, “apakah kau berdua, atau salah seorang dari kalian, tertarik pada kecantikan Mas Rara? Begitu kalian melihat, kalian telah jatuh cinta, sehingga kalian ingin memilikinya dan bersedia mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya? Beruntunglah kalian berhasil mengalahkan harimau itu yang sudah tidak bertenaga itu. Tapi bukan berarti kalian adalah pahlawan yang mampu menyelamatkan Mas Rara karena kemampuan dan ilmu kalian”

Manggada dan Laksana hampir kehabisan akal. Tapi mereka sekali lagi mendengar orang di sebelahnya berdesis, “Jangan kau tolak”

“Terlanjur“ kata Manggada berbisik.

“Katakan, itu basa-basi“ bisik orang itu kembali.
Manggada mengerti maksud kata-kata pendek itu. Karenanya dia langsung menjawab, “Ampun Raden Panji. Bukan maksud kami menolak kurnia yang akan diberikan pada kami. Apalagi hadiah sebagai penghargaan atas usaha kami menyelamatkan Mas Rara. Tadi hanya basa-basi. Bukan maksud kami yang sebenarnya. Sudah barang tentu kami akan menerima dengan sepenuh hati hadiah yang akan diberikan Raden Pimpinan kami”

Raden Panji mengerutkan keningnya. Numun tiba-tiba saja ia tertawa. Katanya, “Kau memang seorang yang tidak waras. Kau membuat jantungku hampir pecah. Tapi kemudian kau membuatku tertawa”

“Ampun Raden Panji“ desis Manggada.

“Baik“ berkata Raden Panji kemudian“ kalian akan mendapat upah secukupnya. Aku akan memberi kalian masing-masing pakaian sepengadeg. Pakaian yang pantas untuk kalian, kecuali itu, aku juga akan memberi uang pada kalian. Tetapi kalian hanya boleh bermalam di rumah ini terakhir semalam nanti. Besok kalian harus sudah meninggalkan rumah ini”

Manggada dan Laksana jadi makin tidak mengerti akan sifat dan kebiasaan Raden Panji. Karena itu, keduanya hanya mangangguk-angguk dalam.

“Nah” berkata Raden Panjl, “sekarang kalian boleh ikut makan bersama kami, hidangan berikutnya akan segera dihidangkan”

Para petugas khusus telah mengerti isyarat itu. Mereka harus segera menghidangkan makan bagi para tamu, sesudah makanan dan minuman tadi. Namun Raden Panji kemudian berkata, “Aku persilahkan kalian makan di pendapa. Aku akan berbicara sendiri dengan bakal isteriku”

Orang-orang yang ada di pendapa itu menjadi gelisah. Hampir saja mereka menduga harus meninggalkan pendapa itu.

Tapi ternyata Raden Panji berkata selanjutnya, “Aku akan membawa bakal isteriku masuk. Kalian aku persilahkan untuk makan di sini”

Wajah Mas Rara tiba-tiba saja jadi pucat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika tiba-tiba Raden Panji menarik tangannya dan berkata, “Berdirilah”

Mas Rara menjadi ragu-ragu. Tapi sebelum ia berdiri tegak, Raden Panji sudah menariknya memasuki pintu pringgitan.

Tubuh Mas Rara nampak gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya. Rasa-rasanya ia telah ditarik dalam satu dunia yang gelap dan tidak diketahui apa yang ada di dalamnya.

Beberapa orang saling berpandangan di pendapa, dan beberapa perempuan jadi bingung.

Dalam pada itu, jantung Wirantana menjadi berdebaran. Ia tahu bahwa Raden Panji adalah orang yang berkuasa, Bahkan kuasanya telah disahkan oleh Pajang. Tetapi apakah wajar jika mempergunakan kuasanya tanpa menghiraukan perasaan orang lain dan tanpa menghiraukan tatanan kehidupan? Mas Rara belum menjadi isterinya.

Tetapi gejolak perasaan Wirantana mereda ketika ia mendengar Raden Panji itu memanggil seseorang. Ternyata perempuan yang sudah berusia agak lanjut itu bangkit dan dengan tergesa-gesa masuk ke ruang dalam. Ia tidak mau dimarahi lagi oleh Raden Panji. Apalagi mendapatkan hukuman daripadanya.

Ketika ia masuk ia melihat Raden Rara berlutut dihadapan Raden Panji yang berdiri dibelakang pintu. Bahkan orang-orang yang duduk dipendapa pun sehingga dapat melihatnya sekilas karena pintu itu segera ditutup. Demikian pula Wirantana, Manggada dan Luksana.

Demikian pintu itu tertutup, maka ketiga orang anak muda itu saling berpandangan. Rasa-rasanya mereka mengalami satu peristiwa yang tidak dapat mereka mengerti. Bahkan perasaan anak-anak muda itu bergejolak sebagaimana mereka menghadapi paman Wirantana sendiri yang telah terbunuh di perjalanan.

Ketika perempuan tua itu berlutut pula dibelakang Mas Rara, Raden Panji pun berkata, “Aku tidak mau Mas Rara terlalu lama diluar. Aku tidak mau biji mata laki-laki yang bagaikan terloncat keluar memandanginya terus-menerus. Apalagi kedua orang anak muda itu. Anak muda yang merasa diri mereka pahlawan hanya karena mereka dapat membunuh seekor harimau tua yang sakit-sakitan“ kata-kata Raden Panji terputus. Namun tiba-tiba ia menggeram, “Tetapi jika mereka juga menganggap aku seekor harimau tua, maka mereka akan menyesal. Mereka akan aku bunuh dan mayatnya akan dilemparkan kesungai”

Perempuan tua dibelakang Mas Rara itu termangu-mangu. Namun ia sama sekali tidak berani berkata sesuatu.

“Kawani Mas Rara didalam biliknya“ berkata Raden Panji dengan wajah tegang.

“Baik Raden” jawab perempuan tua itu.

“Nah“ berkata Raden Panji kemudian kepada Mas Rara, “kau akan aman di dalam. Cantikmu tidak akan berkurang oleh tatapun mata liar orang-orang di pendapa. Kau akan menjadi isteriku. Bukan isteri mereka”

Mas Rara hanya menunduk saja dalam-dalam. Tubuhnya masih gemetar.

“Kenapa kau diam saja?” bertanya Raden Panji, “jawablah. Katakan bahwa kau Berterima kasih akan sikapku ini”

Keringat Mas Rara mengulir semakin deras. Namun ia menyadari bahwa ia memang hurus mengatakannya. Sehingga karena itu tanpa kesadaran akan arti kata-katanya justru karena kesadarannya bahwa ia harus menjawab, maka dari sela-sela bibirnya terucapkan, ”terima kasih Raden Panji”

Raden Panji tertawa. Katanya, “Nah. Kau menjadi semakin pintar. Kau akan menjadi seorang isteri yang baik. Yang lembut dan penuh pengertian. Siapa yang mengajarimu he? Tentu bukan dirimu, orang padesan itu”

Mas Rara benar-benar menjadi bingung. Tetapi hampir diluar kehendaknya sendiri ia berkata, “Bibi ini Raden”

“Bagus, bagus“ Raden Panji terawa semakin keras. Suaranya terdengar sampai ke pendapa. Orang-orang yang ada di pendapa memang menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Raden Panji.

Sementara itu, Raden Panji pun kemudian berkata kepada perempuan tua itu, “Kau akan mendapat hadiah pakaian sepengadeg, uang dan kedudukan”

Perempuan tua itu justru terkejut. Namun ia berkata juga, “Terima kasih Raden Panji”

“Nah. Bawa Mas Rara masuk kedalam biliknya. Peliharalah riasnya dan bahkan kau harus memperbaikinya jika ada yang cacat” berkata Raden Panji, “aku belum puas memandanginya. Setelah pertemuan ini selesai, maka aku akan memandanginya sepuas-puasnya didalam biliknya, sehingga orang lain tidak akan ikut memandanginya pula”

Perempuan tua itu hanya dapat menunduk. Ia sudah beberapa kali melayani perempuan-perempuan muda yang akan diperisteri oleh Raden Panji. Namun diantara mereka memang tidak ada yang secantik Mas Rara.

“Baiklah“ berkata Raden Panji kemudian, “aku akan kembali menemui orang-orang yang ada di pendapa. Aku akan makan. Perutku sudah lapar. Aku sengaja tidak makan, karena aku ingin makan bersama-sama dengan sahabat-sahabatku”

“Silahkan Raden“ desis perempuan tua itu. Tetapi diluar dugaan Raden Panji membentuk, “Bukan kau yang harus mempersilahkan aku. Tetapi calon isteriku”

“O“ perempuan tua itu justru beringsut surut. Hatinya yang mulai kembang itupun segera berkerut kembali.

Mas Rara yang tidak lagi berbuat sesuatu atas landasan hatinya sendiri itu, lalu apa yang sebaiknya ia lakukan. Dari sela-sela bibirnya tiba-tiba terdengar kata-kata, “Aku persilahkan Raden Panji”

Raden Panji tertawa terbah-bahak sehingga kedua orang perempuan yang sedang berlutut itu terkejut.

Ketika Mas Rara kemudian menunduk, ia terkejut sehingga wajahnya menengadah. Ia melihat wajah Raden Panji menunduk. Suara tertawanya masih mendengar, sehingga Mas Rara hampir saja beringsut surut.

Tetapi ia sempat menahan diri untuk tetap berlutut ditempatnya. Ketika Raden Panji itu menyentuh bahunya, maka terasa tangan itu sangat kasar. Ketika Raden Panji memegang tangannya dan menariknya masuk ke ruang dalam, jantungnya yang berdetak semakin cepat agaknya telah membuatnya tidak sempat memperhatikan telapak tangan Raden Panji. Tetapi ketika ia sempat merasakan sentuhan telapak tangan itu dibahunya, maka rasa-rasanya di telapak tangan Raden Panji itu tumbuh duri.

Namun ia tidak menunjukkan perasaannya. Bahkan ia tidak sempat menghiraukannya lebih lama, karena Raden Panji itu pun berkata, “Nah, sekarang tersenyumlah. Aku akan kembali ke pendapa”

Mas Rara tahu, bahwa ia harus melakukan apa yang diperintahkan oleh Raden Panji. Karena itu, maka Mas Rara pun kemudian telah tersenyum sambil memandang Raden Panji yang sedang membungkuk itu, meskipun hatinya pedih.

“Mati aku“ desis Raden Panji. Sekali lagi ia menepuk bahu Mas Rara. Namun kemudian iapun telah bergeser dan berkata kepada perempuan tua itu, “Bawa Mas Rara ke biliknya. Jaga agar tetap cantik, sehingga orang tidak akan menyangkanya bahwa aku telah mengambilnya dari padukuhan yang jauh dari kota”

“Baik Raden“ jawab perempuan tua itu.

“Jika perlu panggil pembantu-pembantumu“ berkata Raden Panji pula.

“Baik Raden“ jawab perempuan itu dengan nada yang merendah.

Raden Panji pun kemudian telah kembali ke pendapa. Sementara makan pun telah terhidang.

Dernikian Wirantana, Manggada dan Laksana melihat Raden Panji itu keluar, maka jantungnya mulai mengendor. Ia melihat Raden Panji itu tersenyum-senyum sambil memandang orang-orang yang ada di pendapa.

“Kita akan makan bersama“ berkata Raden Panji kepada orang-orang yang ada di pendapa. Meskipun sebelum Raden Panji masuk keruang dalam sambil menarik Mas Rara sudah mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan, namun orang-orang yang ada di pendapa itu tetap menunggunya.

Karena itu, maka ketika Raden Panji kemudian duduk menghadapi mangkuk dan mulai menyendok nasi, maka yang lainpun telah melakukannya.

Beberapa saat lamanya, orang-orang di pendapa itu menikmati hidangan. Sebagaimana derajad dan kedudukari Raden Panji, maka hidangan yang disediakan di pendapa itu pun merupakan hidangan yang baik.

Wirantana, Manggada dan Laksana telah makan pula bersama orang-orang lain yang ada di pendapa itu. Namun agaknya Raden Panji telah memperhatikan mereka secara khusus. Bahkan tiba-tiba saja Raden Panji itu berkata sambil tertawa, “Ha, makanlah sebanyak-banyaknya. Kalian tentu jarang sekali menjumpai makan sebaik ini. Biasanya kalian hanya makan kuluban dedaunan. Atau barangkali sekali-sekali ikan jika kalian mendapatkannya ketika kalian mengail. Atau barangkali sesobek daging ayam jika tetangga-tetangga kalian mengadakan peralatan”

Wajah anak-anak muda itu terasa menjadi panas. Tetapi mereka masih saja dibebani oleh berbagai macam pertimbangan sehingga mereka berusaha sejauh mungkin untuk menahan diri meskipun mereka semakin menjadi muak melihat sikap dan tingkah laku Raden Panji. Namun merekapun melihat para prajurit yang ada di halaman. Nampaknya kekuasaan Raden Panji memang terlalu besar sehingga tidak seorang pun dapat mengendalikannya lagi.

Sementara orang-orang di pendapa sedang makan, maka didalam biliknya Mas Rara tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah memeluk orang tua itu sambil menahan tangannya. Namun justru karena itu, maka Mas Rara itupun telah terisak-isak. Dadanya serasa tersumbat oleh mata air yang ditahannya sekuat-kuatnya.

“Jangan menangis Mas Rara“ berkata orang tua itu dengan nada lembut, “nanti rias wajahmu rusak. Bukankah Raden Panji berpesan, agar rias wajahmu dan pakaianmu tidak boleh rusak? Nanti, setelah pertemuan itu selesai, Raden Panji masih akan memandangimu sampai puas.”

Tetapi tangis Mas Rara justru menjadi semakin meledak. Hampir saja ia menjerit. Namun beruntunglah bahwa ia masih dapat menahannya.

“Cup, ngger. Jangan menangis. Nanti Raden Panji menjadi salah paham. Kau harus mampu menempatkan dirimu sebagai calon isteri seorang besar, meskipun jika aku jujur, aku seharusnya mengerti, kenapa kau menangis?“ berkata orang tua itu.

Mas Rara ternyata dapat mengerti kata-kata itu. Ia mencoba untuk menenangkan hatinya yang bergejolak, sehingga isaknya pun menjadi reda.

Ketika di luar orang-orang sibuk makan dan minum, wanita tua yang ada di dalam bilik Mas Rara telah memperbaiki rias wajahnya yang hampir rusak karena airmata. Tapi wanita tua itu dengan cepat telah membuat rias wajah Mas Rara jadi seperti sebelumnya. Demikian pula pakaian dan kelengkapan lain pada Mas Rara.

“Nah, kau memang cantik. Meskipun ada sedikit bekas tangis di matamu, tapi jika kau tersenyum Raden Panji tidak akan mengetahuinya“ berkata wanita tua itu.

Mas Rara mengangguk. Namun hampir di luar sadarnya ia berkata, “Apakah isteri-isteri Raden Panji sebelumnya juga tersiksa seperti aku?“

“Pada umumnya begitu“ orangtua itu menarik nafas dalam-dalam, tapi justru karena itu mereka sempat bertahan untuk menjadi isteri Raden Panji barang satu dua tahun. Sementara itu, ada juga yang tidak peduli dengan keadaan Raden Panji. Ia merasa akan mendapat derajat dan uang yang dapat mereka pergunakan untuk mencari kepuasan jika ia sudah jadi isteri Raden Panji. Tapi ternyata perempuan tamak itu menjadi isteri Raden Panji tidak lebih dari tiga bulan”

Wajah Mas Rara tiba-tiba tampak berbinaar. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku akan menempuh cara itu”

Perempuan tua itu terkejut. Dengan cemas ia berkata, “Jangan Mas Rara. Jangan”

“Bukankah orang seperti itu tidak akan mengalami siksaan terlalu lama disini?“ desis Mas Rara.

“Benar Mas Rara. Tetapi beberapa hari setelah ia keluar dari rumah Raden Panji, ia diketemukan mati. Tubuhnya terbaring di halaman belakang rumahnya“ berkata perempuan tua itu.

“O“ wajah Mas Rara menjadi pucat.

Sementara perempuan tua itu berkata lebih lanjut, “Seorang lagi juga ditemukan meninggal. Justru di rumah Raden Panji. Perempuan itu dikembalikan ke rumahnya dalam keadaan tidak bernyawa lagi”

“Baiklah“ desis Mas Rara.

“Sst“ tiba-tiba saja jari perempuan tua itu telah melekat di bibir Mas Rara. Katanya kemudian, “Di sini dinding dan pintu punya telinga yang dapat mendengar dan punya mulut untuk mengadu. Denting uang, kepingan uang membuat orang-orang di sekitar Raden Panji menjadi gila”

Mas Rara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia bertanya, “Kenapa perempuan itu dibunuh?“

“Tidak ada yang berani menyebut perempuan itu dibunuh. Tetapi perempuan itu mati“ jawab perempuan tua itu.

“Kenapa perempuan itu harus mati?“ bertanya Mas Rara.

“Dibawanya laki-laki yang memang menanganinya ke dalam rumah Raden Panji, di saat Raden Panji bertugas. Laki-laki itu dengan diam-diam datang pada perempuan yang sudah menjadi isteri Raden Panji itu“ desis perempuan tua itu, “namun ternyata laki-laki itu kemudian ditemukan mati di kedung di luar padukuhan ini, seakan-akan tenggelam. Padahal laki-laki itu terbiasa mandi di kedung tersebut, mencari ikan dan memandikan binatang peliharaannya. Beberapa hari kemudian, perempuan yang sudah jadi isteri Raden Panji itu pun telah meninggal pula di rumah Raden Panji”

“Apakah tidak ada bekas-bekasnya? Mungkin ia dicekik atau ditusuk atau apapun“ bertanya Mas Rara.

Perempuan itu tiba-tiba menunduk sambil berdesis, “Tidak”

“Racun?“ Mas Rara menebak.

Perempuan tua itu mengusap matanya. Katanya, “Tetapi perempuan itu memang bersalah. Ia adalah perempuan yang bersuami. Ia tidak pantas berhubungan dengan laki-laki lain meskipun ada sebab-sebab yang menjadikannya berbuat gila seperti itu”

Mas Rara menarik nafas dalam-dalam. Ia justru tidak menangis lagi. Ia sadar, bahwa ia benar-benar telah terjebak ke dalam neraka yang mengerikan.

Sesaat ia memang menyesali nasibnya, karena secara kebetulan Raden Panji melihatnya dan membawanya ke dalam jebakan yang akan dapat menyiksanya.

Namun tiba-tiba saja gejolak yang kurang dimengertinya telah membuat darahnya bagaikan mendidih. Ia memang tidak dapat sekedar menyesali nasibnya, tapi ia berniat untuk berdoa dengan sepenuh hatinya agar ia dibebaskan dari perasaannya yang sedih. Ia ingin mendapat terang di hatinya, apakah ia memang ditakdirkan untuk menjadi budak nafsu Raden Panji, yang ternyata tidak lagi memiliki sifat sebagaimana orang kebanyakan.

Sementara itu, di luar, orang-orang masih sibuk menyuapi mulutnya. Beberapa orangtua tidak lagi mampu menampung makanan ke dalam perutnya, tapi mereka masih juga mengepal-ngepal nasi di mangkuknya karena Raden Panji belum selesai makan.

Wirantana, Manggada dan Laksana mendengar orang di sebelahnya berbisik, “Makanlah sampai Raden Panji selesai. Makan atau pura-pura makan”

“Satu permainan yang gila“ geram Wirantana di dalam hatinya. Namun dengan demikian, ia jadi cemas bahwa adiknya akan mengalami kesulitan besar dalam hidupnya nanti. Ia harus melakukan sebagaimana Raden Panji melakukannya dan tidak akan berhenti sebelum Raden Panji sendiri berhenti.

Ketika Raden Panji selesai makan, dan mencuci tangannya pada mangkuk khusus, yang lain ikut pula berhenti. Beberapa orang menengadah sambil menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka telah terbebas dari tugas yang sangat berat.

Beberapa saat kemudian, para petugas dapur mulai mengangkat mangkuk-mangkuk dan sisa makanan dari pendapa. Sedang Raden Panji mengusap tangannya dengan selembar kain berwarna biru tua.

“Makanan yang merisaukan“ bisik Wirantana.

Manggada dan Laksana mengerti maksud Wirantana, tapi mereka sama sekali tidak menyahut.

Sementara itu, telah dihidangkan beberapa sisir pisang bagi orang-orang yang ada di pendapa itu.

Baru kemudian Ruden Panji berkata, “Kita sudah makan dan minum secukupnya. Nah, nanti sebentar lagi aku akan segera kembali. Tapi silahkan kalian duduk dulu, sementara aku akan menemui bakal isteriku. Aku mempunyai rencana untuk mengubah hari perkawinanku. Sepekan lagi aku akan meresmikannya. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Tampaknya aku akan mendapat tugas-tugas penting dari Pajang, sehingga persoalan pribadiku harus aku selesaikan lebih dahulu.

Wirantana mengerutkan keningnya. Seharusnya Raden Panji memberitahukan hal itu pada ayah dan ibunya. Bagaimanapun, ayah dan ibunya adalah orang yang paling bertanggung-jawab atas Mas Rara.

Tetapi Wirantana tidak dapat mengatakannya saat itu. Ia merasa bahwa ia tidak lebih dari seorang pengantar. Tidak ubahnya dengan kedua pembantu Ki Jagabaya yang membawa pedati kuda ke tempat itu.

Dalam pada itu, Raden Panji berkata lagi, “Silahkan duduk dulu. Aku akan berbicara dengan Mas Rara di dalam“ namun tiba-tiba ia berpaling pada Manggada dan Laksana sambil berkata, “Kalian berdua akan segera menerima hadiah. Tapi ingat, besok pagi-pagi benar kalian harus sudah meninggalkan tempat ini”

Manggada dan Laksana mengangguk hormat sambil berkata, “Baiklah Raden Panji. Besok pagi-pagi kami mohon diri”

“Ya. Hari ini kalian akan menerima hadiah, meskipun apa yang kalian lakukan tidak lebih dari permainan anak-anak“ berkata Raden Panji.

Manggada dan Laksana mengatup gigi mereka rapat-rapat. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Sejenak kemudian, Raden Panji telah bangkit berdiri sambil berkata, “Tunggu aku di situ”

Ketika Raden Panji masuk, beberapa orang menarik nafas dalam-dalam. Tapi tidak seorang pun berani bangkit dan meninggalkan tempatnya.

Orang yang duduk di sebelah Wirantana, Manggada dan Laksana tiba-tiba berkata, “Jika kita duduk di pendapa bersama Raden Panji, kita harus mengenal beberapa sifat yang dimilikinya. Sebenarnya Raden Panji tidak perlu berbuat seperti itu. Tapi….“

“Tapi?“ Manggada mengulang.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang yang duduk di sekitarnya. Tampaknya mereka saling berbincang dengan temannya masing-masing, tanpa menghiraukan orang yang duduk di sebelah anak-anak muda itu.

Tetapi orang itu menggeleng sambil berdesis, “Tidak apa-apa. Raden Panji memang seorang yang sering memberi hadiah pada orang-orang yang berjasa padanya. Sebagaimana Raden Panji akan memberi hadiah pada kalian”

Manggada dan Laksana mengungguk-angguk. Tetapi mereka sadar bahwa bukan itu yang akan dikatakan oleh orang itu. Sementara Wirantana bertanya, “Apakah Raden Panji sering memberi hadiah seperti ini?“

Pembicaraan diantara mereka terputus. Wirantana, Manggada dan Laksana tahu bahwa orang itu tidak dapat mengatakan lebih banyak lagi tentang Raden Panji. Karenanya, anak-anak muda itu tidak bertanya lebih banyak lagi.

Sementara itu, di ruang dalam, Raden Panji telah memanggil Mas Rara dan perempuan tua yang melayani gadis itu.
“Nah“ berkata Raden Panji, “aku sudah selesai makan. Seharusnya kaupun makan juga bersamaku. Tapi aku tidak mau melihat mata laki-laki yang menjengkelkan di pendapa itu, yang selalu menatapmu. Semua orang. Dan dari mata mereka terpancar sorot perasaan mereka. Ada yang iri, ada yang dengki, dan yang lebih jahat lagi ada diantara mereka yang memandangimu dengan penuh gairah. Rasa-rasanya aku ingin membunuh mereka”

Jantung Mas Rara menjadi semakin berdebaran. Namun Raden Panji kemudian mengatakan niatnya untuk mempercepat saat pernikahan mereka.

“Sebelum aku mendapat tugas penting dari Pajang“ berkata Raden Panji.

Wajah Mas Rara yang pucat menjadi semakin pucat. Jantungnyapun berdegup, semakin cepat. Keringat dingin telah membasahi pakaian yang dipakainya.

Tetapi Raden Panji seakan-akan tidak melihat kegelisahan itu. Bahkan iapun kemudian berkata, “Dengan demikian, maka segalanya akan segera menjadi bersih. Tidak ada lagi hambatan yang menghalangi kita”

Mas Rara menundukkan kepalanya. Ketegangan yang tajam telah mencengkam seisi dadanya.

Namun Raden Panji justru bertanya, “Mas Rara. Bukankah kau merasa bersyukur atas keputusanku itu? Kau akan segera menjadi seorang perempuan yang sangat dihormati disini. Karena aku adalah orang yang paling berkuasa disini, maka kaupun akan menjadi perempuan yang paling berbahagia. Semua perempuan akan menghormatimu karena kau, adalah perempuan yang berkedudukan paling tinggi. Kau dengar? Kau adalah perempuan yang berkedudukan paling tinggi”

Mas Rara masih menunduk. Isi dadanya menjadi semakin sakit. Rasa-rasanya jantungnya akan meledak mendengar kata-kata Raden Panji itu.

“Mas Rara“ berkata Raden Panji kemudian, “kau tidak usah merasa malu. Katakan, apakah kau menjadi berbahagia karenanya?“

Darah Mas Rara mengalir semakin cepat di dalam tubuhnya.,

“Katakan“ perintah Raden Panji.

Dan Mas Rara pun tahu bahwa ia memang harus menjawab sebagaimana diminta oleh Raden Panji.

“Katakan“ desak Raden Panji, “jangan membuat aku menjadi gila. Bukankah kau merasa bahagia karena keputusanku untuk mempercepat hari pernikahan kita?“

Memang tidak ada pilihan lain. Meskipun kemudian yang hampir menjadi gila adalah Mas Rara. tetapi Mas Rara itu menjawab, “Ya Raden Panji”

“Katakan bahwa kau merasa berbahagia“ perintah Raden Panji.

“Aku merasa berbahagia Raden Panji“ berkata Mas Rara kemudian dengan mulutnya, tetapi tidak dengan hatinya. Bahkan sebaliknya, hatinya menjadi semakin pedih.

Tetapi Raden Panji tertawa. Katanya, “Sukurlah. Ternyata dugaanku benar. Kau tentu menjadi tidak sabar menunggu hari perkawinan yang aku tetapkan. Jangan cemas. Besok pagi-pagi kakakmu akan pulang memanggil ayah dan ibumu. Pekan ini kita akan menikah dengan resmi”

Wajah Mas Rara menjadi tegang. Tetapi Raden Panji itu tertawa berkepanjangan. Katanya kepada perempuan tua yang melayani Mas Rara itu, “Siapkan Mas Rara untuk memasuki hari perkawinannya. Ajari gadis itu apa yang harus dilakukannya sesudah hari pernikahan itu. Agaknya ia masih terlalu bodoh sehingga ia harus tahu tugasnya sebagai seorang isteri agar aku tidak menjadi marah dihari pertama perkawinanku”

Perempuan tua itu mengangguk hormat sambil menjawab, “Baik Raden Panji”

“Gadis yang cantik ini harus mengetahui kewajibannya dengan baik“ berkata Raden Panji. Namun ia pun kemudian tertawa berkepanjangan.

Ketika kemudian Raden Panji berdiri dan melangkah ke pintu, perempuan tua itu bertanya, “Ampun Raden Panji, apakah pakaian pengantin bagi Mas Rara harus dipersiapkan yang baru, atau memakai pakaian pengantin yang sudah ada?“

Wajah Raden Panji menjadi merah. Matanya terbelalak sambil membentak, “Perempuan dungu. Jika kau bukan perempuan tua, aku tampar mulutmu. Kau kira aku siapa he? Sudah tentu isteriku yang cantik ini tidak boleh memakai barang bekas. Ia harus memakai pakaian yang paling baik dan baru. Kau dengar?“

“Ya, ya Raden“ jawab perempuan tua itu dengan nada gemetar, “tetapi apakah pakaian baru itu dapat dibuat dalam waktu yang pendek ini?“

“Kenapa tidak? Sehari pakaian itu harus jadi. Seandainya aku ingin pernikahanku berlangsung besok, maka pakaian itu harus siap besok. Kerahkan lima atau bahkan sepuluh orang untuk membuat pakaian itu atau jika perlu seratus orang” Raden Panji hampir berteriak.

Perempuan tua itu menunduk dalam-dalam. Ia memang sudah menduga bahwa ia akan dibentak-bentak dengan pertanyaannya. Tetapi ia menganggap bahwa lebih baik dibentak-bentak sekarang daripada ia salah langkah. Jika ia keliru justru disaat hari perkawinan, maka ia tidak akan mendapat ampun lagi. Karena ia tahu bahwa tidak mungkin membuat pakaian pengantin dalam waktu yang singkat dengan mengerahkan seratus orang sekalipun, karena pakaian itu hanya dapat dibuat oleh seorang saja atau paling tidak dua tiga orang untuk membantunya.

Perempuan tua itu tidak bertanya lagi. Sementara Raden Panji bergumam, “Lebih baik berada di pendapa daripada aku harus membunuh perempuan tua yang dungu ini”

Perempuan tua itu hanya berdiam diri saja. Sementara Raden Panji telah melangkah kembali kepintu. Sambil membuka pintu ia berkata, “Besok kakakmu akan menjemput orang tuamu”

Ketika Raden Panji telah berada diluar pintu, maka perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mas Rara bertanya dengan nada dalam, “Kau tidak apa-apa bibi?“

“Tidak Mas Rara. Tidak” jawab perempuan tua itu.

“Sukurlah“ desis Mas Rara.

“Lebih baik begitu Mas Rara. Jika aku melakukan kesalahan justru dihari perkawinan, maka aku akan mengalami nasib yang sangat buruk“ jawab perempuan tua itu.

Mas Rara mengangguk-angguk. Tetapi dari wajahnya memancar kegelisahan yang sangat. Hari perkawinan itu akan diajukan begitu cepat sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya memasuki neraka yang mengerikan itu.

Tetapi tidak seorang pun dapat merubah keputusan Raden Panji yang paling berkuasa didaerah itu.

Di pendapa Raden Panji telah berkata lantang, “He kau, Wirantana. Bukankah namamu Wirantana?“

Wirantana mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya Raden Panji”

“Nah, besok kau harus pulang ke rumahmu. Besok pagi-pagi. Katakan kepada ayah dan ibumu, bahwa mereka harus datang secepatnya kemari. Aku akan mempercepat hari perkawinanku” berkata Raden Panji.

Wajah Wirantana menjadi tegang. Tetapi kemudian ia pun berpendapat, bahwa hal itu tentu akan lebih baik daripada pernikahan itu dipercepat tidak setahu ayah dan ibunya.

Karena itu, maka Wirantana itu pun sekali lagi mengangguk hormat sambil berkata, “Ya Raden Panji. Besok aku akan memberitahukan kepada ayah ibuku”

“Bagus. Tetapi kau harus pergi sendiri dan kembali sebelum sepekan bersama ayah dan ibumu. Kedua orang anak yang sombong itu tidak perlu kau bawa lagi kemari. Aku tidak mengundangnya dihari pernikahanku” berkata Raden Panji.

Manggada dan Laksana menahan nafasnya sehingga dadanya merasa sesak. Darahnya menjadi panas. Namun ia sadar, bahwa ia harus bertahan untuk tidak berbuat apapun juga. Jika ia melakukan satu kesalahan setidak-tidaknya menurut Raden Panji, maka ia yakin, bahwa jiwanya akan terancam.

Karena itu, maka kedua orang anak muda itu hanya mengatupkan giginya saja rapat-rapat.

Sejenak kemudian, maka Raden Panji yang merasa bahwa keperluannya sudah cukup telah membubarkan pertemuan itu. Para pengawalnya segera bersiap untuk membawa Raden Panji kembali kerumahnya.

Namun Raden Panji masih sempat minta diri kepada Mas Rara, “Aku akan mempersiapkan segala-galanya. Jangan cemas. Perkawinan kita akan berlangsung dalam pekan ini juga”

Mas Rara menunduk meskipun ia tahu bahwa ia harus menjawab. Karena itu terdengar suaranya perlahan sekali, “Terima kasih Raden Panji”

“Kau harus mempersiapkan dirimu baik-baik. Perempuan tua itu akan mengajarimu apa yang harus kau lakukan dihari pertama pernikahan kita itu“ berkata Raden Panji kemudian. Lalu, “Besok kakakmu akan menjemput orang tuamu”

Mas Rara tidak menjawab. Sementara Raden Panji pun kemudian telah meninggalkannya dan selanjutnya meninggalkan rumah itu.

Sepeninggal Raden Panji, maka pendapa dan bahkan halaman rumah itu pun menjadi lengang. Beberapa orang yang hadir di pendapa itu sebagian ikut mengiringi Raden Panji kembali ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa patok saja bersama para prajurit pengawal. Sedangkan yang lain pulang kerumah masing-masing. Orang yang duduk disebelah Wirantana itu sempat berkata, “Berbuatlah sebaik-baiknya sesuai dengan keinginan Raden Panji untuk kebaikanmu dan kebaikan adik perempuanmu”

Wirantana mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud orang itu. Karena itu, maka ia berdesis, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi siapa nama Ki Sanak itu?“ bertanya Wirantana.

“Namaku Wirasta“ jawab orang itu, “aku belum lama tinggal di padukuhan ini. Tetapi dalam waktu yang pendek aku segera mengenali sifat Raden Panji”

Wirantana mengangguk-angguk. Sementara Manggada bertanya, “Dimana rumah Ki Sanak?“

“Beberapa ratus langkah dari rumah ini“ jawab orang itu, “tidak terlalu jauh”

Tiba-tiba saja Laksana bertanya pula, “Apakah kami boleh berkunjung ke rumah Ki Sanak?“

Orang itu tersenyum sambil menggeleng, “Tidak perlu anak muda. Bukan maksudku menolak kebaikan hati kalian. Tetapi aku tidak ingin mendapat perhatian khusus dari Raden Panji disini, justru karena aku tahu sifat Raden Panji”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata, “Aku mohon kalian mengerti”

“Ya, ya“ sahut Manggada, “apalagi kami berdua. Nampaknya Raden Panji tidak senang melihat kehadiran kami, meskipun kami datang atas undangan Raden Panji itu”

Orang itu mengangguk angguk. Namun iapun kemudian melangkah sambil berrdesis, “Aku minta diri”

Orang itu pun kemudian telah meninggalkan halaman rumah itu tanpa berpaling lagi. Nampaknya ia benar-benar tidak ingin menarik perhatian Radenn Panji dan orang–orangnya.
Beberapa saat kemudian, maka rumah itu menjadi lengang. Meskipun masih ada satu dua orang prajurit yang nampaknya mendapat tugas untuk berjaga-jaga, tetapi tidak ada lagi orang yang hilir mudik di halaman. Satu dua orang pelayan masih membenahi pendapa yang telah kosong.

Wirantana, Manggada dan Laksana pun kemudian telah pergi ke tempat kedua orang yang melayani kereta berkuda yang mereka pinjam dari Ki Jagabaya.

“Besok kita pulang“ berkata Wirantana kepada mereka berdua.

“Baiklah“ jawab seorang diantara mereka, “rasa-rasanya aku sudah lama meninggalkan anak isteriku”

Wirantana tersenyum. Namun katanya, “Tetapi sehari kemudian kita akan kembali kemari. Aku akan menghadap Ki Jagabaya untuk memohon agar aku diperkenankan meminjam pedati itu lagi”

“Untuk apa?“ bertanya orang itu.

“Aku harus membawa ayah dan ibuku kemari sebelum sepekan“ jawab Wirantana.

Orang yang melayani kereta itu mengangguk-angguk. Katanya, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Jagabaya. Jika aku diperintahkan untuk kembali kemari, maka aku pun akan kembali”

“Terima kasih“ jawab Wirantana, “kita dapat mempersiapkan diri sejak sekarang”

Ketika Wirantana, Manggada dan Laksana kembali ke gandok yang disediakan bagi mereka, maka kedua orang itu pun telah mulai membenahi kereta mereka. Besok pagi-pagi sekali kereta itu akan menempuh lagi perjalanan panjang kembali ke Nguter. Sedangkan sehari kemudian, mereka akan kembali lagi ke padukuhan itu.

Di biliknya, Manggada berdesis, “Besok kita akan berpisah”

“Begitu cepatnya perpisahan itu terjadi. Sebenarnya aku ingin kalian hadir saat adikku menikah sepekan lagi“ desis Wiratana.

Manggada menggeleng. Katanya, “Tidak mungkin”

Sementara Laksana menyambung, “Kau dengar, bahwa Raden Panji telah mengusir kami”

“Ya. Aku tidak mengerti kenapa Raden Panji telah berbuat sedemikian kasarnya“ gumam Wirantana, “seharusnya ia berterima kasih kepada kalian”

Namun Manggada sempat juga bergurau, “Raden Panji menjadi cemburu. Bukankah aku atau Laksana jauh lebih muda dan tampan dari Raden Panji itu”

Wirantana yang wajahnya tegang itu sempat juga tersenyum. Namun Laksana menyahut, “Tetapi Mas Rara tentu akan memilih orang lain jika ia mendapat kesempatan. Bukan Raden Panji tetapi juga bukan salah seorang diantara kami berdua”

Wirantana sempat tertawa pendek. Katanya, “Untunglah kesempatan untuk memilih itu tidak ada pada Mas Rara”

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak berkata apapun.

Ketiganya berhenti bergurau ketika mereka melihat seseorang datang menemui mereka. Ketiga anak muda itu segera dapat mengenalnya, bahwa orang itu adalah pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara dari Nguter kemarin lusa.

Ketiga anak muda itu memang menjadi berdebar-debar. Tetapi wajah prajurit itu nampak ramah dan tidak berkesan keras.

“Maaf anak-anak muda. Barangkali aku akan mengganggu kalian yang sedang beristirahat“ berkata pemimpin prajurit itu.

“Ah tidak“ jawab Wirantana. Tetapi ia pun berkata, “Namun kehadiran Ki Sanak memang agak mengejutkan. Barangkali ada perintah dari Raden Panji?“

“Aku datang bukan atas nama Raden Panji“ jawab perwira itu. Lalu katanya, “Tetapi atas keinginanku sendiri”

“O“ Wirantana mengangguk-angguk, “terima kasih atas kunjungan Ki Sanak. Tetapi apakah ada sesuatu yang penting?“

“Tidak anak-anak muda“ jawab prajurit itu, “aku datang untuk mengucapkan terima kasih”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Berempat mereka pun kemudian duduk di serambi gandok.

“Aku tidak dapat melupakan bantuan kalian yang justru menentukan anak-anak muda” berkata prajurit itu.

“Bantuan apa yang telah kami berikan?“ bertanya Wirantana.

“Ketika kami membawa Mas Rara kemari, bukankah kalian telah berbuat sesuatu yang justru berhasil menyelamatkan Mas Rara meskipun harus mengorbankan pamannya. Kalianiah yang pertama-tama melihat sekelompok penjahat yang telah berusaha menjebak kami. Sudah tentu atas perintah Ki Sanak“ jawab prajurit itu, selanjutnya, “kalian pulalah yang telah mengambil Mas Rara dari tangan pamannya yang mencoba melarikannya itu”

“Hanya satu langkah kecil dari seluruh tugas yang Ki Sanak lakukan“ desis Wirantana.

“Sementara itu, meskipun Raden Panji juga menyatakan terima kasih kepada kalian, tetapi seakan-akan kedua anak muda yang sebelumnya telah menolong Mas Rara dari tajamnya taring seekor harimau itu telah diusirnya“ desis prajurit itu pula.

“Tidak apa-apa Ki Sanak“ sahut Manggada, “kami tahu bahwa kami memang tidak pantas untuk berada di rumah Raden Panji. Kamipun telah menerima hal ini dengan hati terbuka. Besok pagi-pagi kami berdua akan meninggalkan tempat ini dengan lapang dada, sementara Wirantana akan pulang menjemput kedua orang tuanya”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tanpa kalian bertiga, maka aku kira sudah menerima hukuman yang sangat berat karena Mas Rara tentu sudah hilang. Mungkin aku pun akan hilang pula dari percaturan para prajurit dibawah perintah Raden Panji”

“Ah, tentu tidak. Ki Sanak tentu dapat mengatasinya“ berkata Laksana kemudian.

“Mungkin saat itu kami dapat mengalahkan para penjahat yang diupah oleh Ki Resa itu. Tetapi bukankah kami akan kehilangan Mas Rara yang dilarikan oleh Ki Resa, justru karena hal itu diluar perhitungan kami? Setidak-tidaknya kami akan mengira bahwa Ki Resa berniat menyelamatkan kemenakannya itu“ desis pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara itu.

Ketiga anak muda itu hanya mengangguk-angguk kecil saja. Sedangkan prajurit itu berkata selanjutnya Rasa-rasanya sikap Raden Panji tidak adil terhadap kedua orang anak muda ini. Mungkin pada saatnya, sikap yang demikian pula akan dialami oleh Wirantana dan bahkan kedua orang tuanya

“Sudahlah“ berkata Manggada, “lupakan semuanya itu Ki Sanak”

Tetapi prajurit itu berkata terus, “Bukannya aku tidak melaporkan hal ini kepada Raden Panji. Aku telah melaporkan selengkapnya, Akupun agak terkejut melihat sikapnya itu”

“Itu adalah ciri seorang yang mempunyai kekuasaan tanpa batas“ berkata Wirantana hampir diluar sadarnya.

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengenal sifat Raden Panji dengan baik. Tetapi semakin lama, kami para prajurit bukannya semakin memahami sifat dan wataknya, tetapi justru sebaliknya. Kami menjadi semakin tidak mengerti”

“Jika Raden Panji itu menikah sepekan lagi, mudah-mudahah peristiwa itu akan dapat merubah sikapnya“ berkata Wirantana.

“Tetapi ketahuilah anak-anak muda. Raden Panji bukannya baru akan menikah untuk pertama kali“ desis prajurit itu.
Wirantana mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud prajurit itu. Pernikahan yang telah dilakukan Raden Panji berulang kali, sama sekali tidak merubah sifat dan wataknya.

“Anak-anak muda“ berkata prajurit itu, “aku tidak dapat berbuat lain kecuali sekedar mengucapkan terima kasih. Tetapi apa yang telah kalian lakukan waktu itu, benar-benar telah menyelamatkan nyawaku”

“Tidak ada yang kami lakukan“ desis Manggada, “sudahlah. Mudah-mudahan Ki Sanak akan dapat menempatkan diri Ki Sanak diantara keluarga besar kekuatan Pajang di tempat ini”

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila disini. Mudah-mudahan aku segera ditarik ke Pajang untuk tugas lain. Aku lebih senang ditugaskan di daerah-daerah yang keras meskipun berbahaya daripada berada di dekat Raden Panji yang aneh itu, meskipun kami para prajurit disini mendapat cukup makan dan pakaian. Bahkan seluruh keluarga para prajurit”

“Apakah keluarga Ki Sanak juga tinggal di padukuhan ini?“ bertanya Wirantana.

“Tidak“ jawab prajurit itu, “adalah kebetulan bahwa aku sendiri tidak mempunyai keluarga. Isteri ku meninggal sebelum kami mempunyai anak. Beberapa orang kawanku yang mempunyai anak dan isteri, juga tidak dibawa kepadukuhan ini. Mereka tinggal di keluarga mereka yang lain. Kami tidak menetap disini untuk seterusnya. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama kami dipindahkan ke tempat lain. Dan jika hal itu terjadi dalam waktu singkat, maka kami akan merasa sangat berbahagia”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab, karena mereka tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Prajurit itu ternyata tidak terlalu lama berbicara dengan ketiga orang anak muda itu. Beberapa saat kemudian mereka bangkit berdiri karena prajurit itu telah minta diri untuk kembali ke kesatuan mereka.

“Prajurit-prajuritku mendapat tugas untuk menjaga tawanan“ berkata pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara itu.

Demikianlah maka sejenak kemudian prajurit itu pun telah meninggalkan ketiga orang anak muda yang termangu-mangu. Ketika prajurit itu sampai keregol maka Wirantanapun berdesis, “Ternyata prajurit itu juga mengalami tekanan perasaan selama ia berada di sini”

“Tetapi tentu ada orang yang memanfaatkan sifat dan watak Raden Panji itu untuk kepentingan diri sendiri“ sahut Manggada.

“Ya“ guman Laksana, “justru orang-orang yang demikian itulah orang-orang yang berbahaya. Orang yang duduk di sebelahnya itu pun nampaknya mengerti keadaan di lingkungan Raden Panji itu dengan baik”

“Tetapi ia mengaku orang baru disini“ sahut Laksana.

“Semakin lama aku pun menjadi semakin tidak mengerti“ berkata Wirantana.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang agak berbeda dengan orang yang duduk disebelahmu yang nampaknya justru berusaha untuk mengerti”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata, “Ternyata para prujurit yang bertugas disini selalu berharap untuk segera dipindahkan”

“Kenapa kau berkesimpulan seperti itu?“ bertanya Laksana.

“Meskipun mereka itu mendapat gaji yang cukup, makan dan pakaian bahkan bagi keluarga mereka, tetapi keluarga mereka tidak mereka bawa ke padukuhan ini“ jawab Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka berkesimpulan bahwa tempat ini memang tempat yang sulit untuk dimengerti. Hanya orang-orang yang bersungguh-sungguh berusaha untuk mengerti secara khusus sajalah yang akan dapat mengerti.

Bahkan bukan saja apa yang kasat mata, tetapi juga apa yang tersirat daripadanya. Mereka justru berusaha untuk melihat jauh kepusat jantung Raden Panji yang memiliki kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas itu.

Namun Manggada dan Laksana tidak akan mendapat kesempatan untuk melihat lebih banyak lagi tentang isi dari padukuhan itu. Mereka besok harus meninggalkan rumah itu pagi-pagi benar, bersama-sama dengan keberangkatan Wirantana pulang.

Ketiga orang itu pun telah berbenah diri sebaik-baiknya. Mereka akan berpisah besok. Meskipun Manggada dan Laksana belum terlalu lama mengenal Wirantana, namun mereka seakan-akan telah merupakan sahabat-sahabat yang sangat akrab. Apalagi mereka telah mengalami bersama-sama ancaman bagi jiwa mereka.

Menjelang senja turun, maka datang beberapa orang prajurit utusan Raden Panji menemui Manggada dan Laksana. Mereka membawa dua bingkisan kecil yang berisi apa yang oleh Raden Panji disebut pakaian sepengadeg. Tidak lebih dari selembar kain panjang dan selembar baju lurik berwarna hitam. Tidak ada ikat kepala, apalagi ikat pinggang yang dilengkapi dengan kamus dan timang.

“Kami mendapat pesan selain menyerahkan hadiah yang dijanjikan oleh Raden Panji, maka kami juga harus memperingatkan bahwa besok pagi-pagi kalian berdua diminta sudah tidak berada di padukuhan ini lagi” berkata pemimpin sekelompok prajurit itu.

“Baik Ki Sanak“ jawab Manggada, “aku juga sudah berjanji kepada Raden Panji”

“Baiklah anak muda. Kami hanyalah sekedar utusan“ desis prajurit itu.

“Kami tahu itu“ sahut Manggada pula. Prajurit-prajurit itu pun termangu-mangu sejenak.

Namun pemimpin kolompok itu kemudian mengangguk sambil berkata, “Kami minta diri anak-anak muda. Kami telah melakukan tugas kami”

“Sampaikan terima kasih kami kepada Raden Panji. Kami juga mohon diri, besok sebelum matahari terbit, kami akan meninggalkan padukuhan ini” berkata Manggada.

Bersambung ke jilid 4

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

Diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

2 Tanggapan

  1. Mohon maaf
    karena masalah teknis, kami tidak tahu mengapa, kami tidak bisa membuat halaman baru seperti biasanya untuk upload AM_MR-04, dan mungkin juga bagi episode selanjutnya. Mungkin karena kuota sudah mulai habis, atau sebab lain yang belum mendapat solusi pemecahannya.
    Oleh karena itu, AM_MR-04 dan episode selanjutnya mungkin akan kami posting di halaman depan.

  2. siap, pak satpam, maturnuwun…

Tinggalkan komentar